Balada Sumarah
Monolog Tentrem Lestari
Siang itu matahari membara di atas
kepala. Di sebuah sidang pengadilan terhadap seorang perempuan yang tertuduh
telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya, aku seperti didera ucapannya.
Seperti dilucuti hingga tanggal seluruh atribut pakaian bahkan kulit-kulitku.
Perempuan itu, bernama Sumarah, TKW asal Indonesia. Dingin dan beku wajahnya.
Dan meluncurlah bait-bait kata itu : Sumarah : Dewan Hakim yang terhormat,
sebelumnya perkenankan saya meralat ucapan jaksa, ini bukan pembelaan. Saya
tidak merasa akan melakukan pembelaan terhadap diri saya sendiri, karena ini
bukan pembenaran. Apapun yang akan saya katakana adalah hitam putih diri saya,
merah biru abu-abu saya, belang loreng, gelap cahaya diri saya. Nama saya
Sumarah. Seorang perempuan, seorang TKW, seorang pembunuh, dan seorang
pesakitan. Benar atau salah yang saya katakana menurut apa dan siapa, saya
tidak peduli. ini kali terakhir, saya biarkan mulut saya bicara. Untuk itu,
Dewan Hakim yang terhormat biarkan saya bicara, jangan ditanya dan jangan
dipotong, kala waktunya berhenti, saya akan diam, selamanya. Saya tidak butuh
pembela, saya tidak butuh penasihat hokum. Karena saya tidak mampu membayarnya.
Saya juga tidak mampu dan tidak mau memberikan selipan uang pada siapapun untuk
melicinkan pembebasan dari segala tuduhan. Toh semua sudah jelas! Semua tuduhan
terhadap saya, benar adanya. Segala ancaman hokum, vonis mati, saya terima tanpa pembelaan, banding atau
apalah namanya. Kematian adalah kelahiran yang kedua. Untuk apa berkelit kalau
memang itu sudah winarah dalam hidup saya. Sudahlah…. saya tidak perlu empati
dan rasa kasihan. Dari pengalaman hidup saya mengajarkan sangat…. sangat jarang
dan hampir tak ada sesuatu yang tanpa imbalan dan resiko. Juga rasa empati.
Yang jelas. sekarang biarkan dulu saya bicara tentang apa saja. Penting atau
tidak penting bagi dewan hakim, atau bagi siapapun, saya tidak peduli. Apapun
yang ingin saya lakukan biarkan seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir.
Mengalir ke mana pun curah yang mungkin terambah. Mungkin mengendap di
sela-sela jepitan hidup orang mungkin menabrak cadas batu dalam kepala orang,
meniumbul riak, mungkin meluncur begitu saja bersama Lumpur kehidupan, tahi,
dan rentanya helai-helai kemanusiaan, atau bahkan meluap-luap, menggenangi
seluruh muka busuk para majikan, para penguasa hingga coro-coro kota. Ee…..
maaf kalau bahasa saya terlalu bertele-tele. Baik saya mulai saja. Nama saya
Sumarah. Umur kurang lebih 36 tahun. Saya seorang TKW. Babu! Eeeh…. jangan
meneriaki huu… dulu. Ya memang saya babu. Tapi justru itu saya hebat. Saya
hebat karena berani mengambil keputusan untuk menjadi babu. Saya berani memilih
keputusan untuk berada pada tempat terbawah dari structural manusia. Belum
tentu semua orang berani menjadi manusia di bawah manusia. Ya… inilah saya,
Sumarah, menjadu babu, buruh, budak sudah menjadi pilihan. Bertahun-tahun, saya
menjilati kaki orang, merangkak dan hidup di bawah kaki orang. Bertahun-tahun
saya tahan mulut saya, saya lipat lidah saya, agar tidak bicara. Karena
bicara,berarti bencana. Bencana bagi perut saya, perut simbok, dan bencana pula
bagi para majikan. Tolong…. kali ini ijinkan saya mendongak dan membuka suara.
Dari kecil saya tidak berani mendongakkan wajah apalagi di Karangsari, desa
tempat saya dilahirkan. Orang-orang Karangsari selalu membuat saya gugup dengan
bisik-bisik mereka, tatapan curiga mereka. Kegugupan itu bermula, di suatu
ketika di kelas, di bangku madrasah. Pak Kasirin guru madrasah saya menerangkan
: “Pembunuhan para jenderal itu dilakukan oleh sekelompok orang yang sangat
keji yang tergabung dalam organisasi PKI. PKI itu benar-benar biadab. Untuk itu
dihapus dan dilarang berkembang lagi. Seluruh antek PKI dihukum”. Saya
mendengarnya dengan takdim sambil membayangkan betapa jahatnya orang-orang yang
membunuh para jenderal itu. Tiba-tiba saya mendengar suara dari arah belakang
bangku saya. Setengah berbisik, tapi jelas kudengar. “Eh, bapaknya Sumarah itu
kan PKI.” “Apa iya?” “Lha sekarang di mana?” “Ya sudah diciduk!” Lalu saya
menoleh ke arah mereka, dan terdengar suara : “Ssst….. itu anak orang
cidukannya menoleh ke sini.” Plass! Seperti terkena siraman air panas hatiku
meradang, sakit, nyeri sekali. Malamnya saya bertanya kepada simbok. “Mbok,
bapak itu apa benar orang PKI mbok?” Simbok yang hendak pergi ke tempat Den
Sastro tetangga saya, untuk mengerik istrinya, jadi urung memasukkan dhuit
benggol ke stagennya. Masih memegang uang benggol itu, simbok memandang saya,
mukanya mendadak pucat dan bibirnya bergetar. “Siapa yang mengatakannya
padamu?” “Tadi… di kelas teman-temanku bilang.” Simbok duduk di amben. “Kamu
percaya?” Saya tidak tahu harus mengangguk atau menggeleng. Tiba-tiba pintu
rumah diketuk. Ternyata orang suruhan Den Sastro untuk menjemput simbok. Simbok
pun pergi tanpa sempat menjelaskan pertanyaan saya. Pertanyaan itu baru
terjawab pada malam berikutnya. Dan bukan dari simbok, tapi simbah yang
menceritakannya. Saya ingat waktu itu seperti biasa saya hendak tidur di
samping simbah. Simbok malam itu seperti biasa jadi tukang kerik. “Mbah, apa
iya bapak itu PKI to mbah?” Sambil men-dhidhis rambutku, meluncurlah cerita
simbah begini : “Bapakmu itu orang lugu, ndhuk. Sehari-hari pekerjaannya
menderes kelapa dan ngusir andhong. Kalau pagi, setelah menderes, kerjaannya
narik andhong, mangkal di Pasar Slerem. Dan sorenya nderes lagi.” “Tukang
nderes itu kan tidak cuma bapak to mbah! Lek Jo, Pak Dhe Sudi, Lek Paidi, mbah
Suro juga nderes mbah, tapi…..” “Ya! Bukan karena nderesnya, ndhuk. Tapi
bencana itu bermula karena bapakmu kusir andhong!” “Kusir andhong?” “Sebagai
kusir andhong, bapakmu sering mengantar siapa saja yang membutuhkannya.
Orang-orang yang mau ke pasar, dari pasar atau mau ke mana saja kehendak
penumpang. Salah satu langganan bapakmu, adalah seorang penyanyi bernama Pak
Wasto. Rumahnya kidul Pasar Slerem. Bapakmu sering mengantar Pak Wasto ke
sebuah rumah di desa Karang rejo. Kadang seminggu sekali kadang tiga hari
sekali. Nah, pada suatu ketika, bapak membawa Pak Wasto dan dua teman Pak Wasto
ke rumah. mereka melihat simbokmu membuat gula dan menanyakan gula-gula itu
dijual ke mana. Kami, dari dulu menjual gula ke Den Projo, Pak Lurah. Lalu
mereka menawarkan untuk menampung gula-gula kami kata mereka, ko… koperasi
begitu. Dengan harga lebih tinggi dari harga yang diberikan Tapi dengan janji
mereka, tentu saja kami mau. Bahkan Pak Wasto memberikan kesempatan bapak untuk
menderes kelapa di kebunnya. Tapi kami tidak enak hati juga pada Den Projo. Dan
tetap menjual kepadanya, tapi tidak sebanyak semula. Lama-lama Den Projo
bertanya kepada simbahmu : “Lek Nah, mantu sampeyan itu suka menyetor gula ke
koperasinya PKI to?” “Wah… ngapunten den, pokoknya Suliman menyetornya kepada
Den Wasto.” Pak Lurah manggut-manggut. Tapi jelas simbah tahu Pak Lurah tidak suka.
Kami pun semakin tidak enak hati. Tapi tidak lama kemudian, bapakmu bilang kami
tidak usah lagi menyetor gula kepada Pak Wasto. Karena Pak Wasto dicidhuk
tentara dan koperasi itu ditutup. Rasanya kami tidak punya firasat buruk sama
sekali mendengar berita itu. Malah simbokmu dengen enteng bilang : “Nggak
apa-apa to Pakne. Malahan tidak pakewuh sama Den Projo.” Tapi ternyata yang
terjadi setelah itu tidak seenteng yang kami duga. Tepat dua malam setelah itu,
suatu malam, waktu itu bapakmu sedang wiridan di langgar. tiba-tiba Den Projo
datang ke rumah mencari bapakmu. Ketika simbok menyusul bapakmu dan simbah
menyilahkan Den Projo masuk, tahulah simbah selain Den Projo, di luar rumah ada
dua tentara dan beberapa orang kampung. Simbah bingung, dan was-was. Dan lebih
bingung lagi setelah bapakmu datang, dua tentara itu menyeret bapak ldiiringi
Den Projo dan orang-orang. Simbokmu menjerit dan bertanya. Lalu Den Projo
setengah menghardik setengah menahan, bilang ”Apa kamu mau diseret juga, Yu.
Manut saja dulu.” Simbah gemetar, simbah bertanya-tanya, “Ooalah Gusti, lha
Suliman nggak tahu apa-apa kok.” Orang-orang bilang Suliman itu antek……..
Orang-orang bilang Suliman itu antek…….. Kami bertanya ke Den Projo keesokan
harinya. Dibawa ke mana bapakmu. Den Projo bilang bapakmu dipenjara sementara.
Mungkin Cuma sebentar, mungkin lama. Simbokmu lemes ndhuk. Kami masih dalam
kandungan lima bulan. Kami menanti………..menanti………menanti……. hingga kamu lahir,
hingga kamu tumbuh, sampai kini…… Tak pernah bertemu lagi,tak tahu di penjara
mana bapakmu ditahan. Setiap kali kami tanyakan itu ke Den Projo, Den Projo
bilang, tunggu saja. Jangan dicari daripada ikut keseret-seret. Kami menanti,
menanti, menanti terus dengan gugup dan gelisah. Kuberi nama kau Sumarah karena
hanya pasrah jawaban penantian ini. Begitulah, simbah, simbok, Kang Rohiman, Yu
Dasri tak pernah lagi bertemu bapak. Dan saya tak pernah sekali pun melihat
wajahnya. Tapi rasanya bayangannya terus menguntit sepanjang hidup saya.
Membuat saya takut mendongak, membuat saya takut bicara, membuat saya
kehilangan separuh ruang hidup saya. Selepas madrasah, kondisi ekonomi simbok
tak mengijinkan saya sekolah lagi meski nilai ijazah madrasah saya bagus. Kang
Rohiman dan Yu Darsi kakak saya juga cuma lulusan madrasah. Kira-kira umur 13
tahun, setelah tamat madrasah saya dibawa Lek Ngaisah tetangga saya ke kota
bekerja ikut orang jadi babu. Bertahan dua tahun,lalu saya pulang. Saya ingin
sekolah lagi. Selama saya bekerja saya mengirimkan uang itu kepada simbok, tapi
sebagian lagi saya kumpulkan. Saya ingin sekolah lagi saya tidak ingin sebodoh
bapak, simbok, atau simbah. Saya tidak ingin diperdaya orang. Kata orang
pendidikan bisa melepaskan diri dari keterjepitan. Dan saya percaya itu. Meski
susah payah saya sekolah, sepulang sekolah, saya bekerja jadi buruh urut
genting di tempatnya Den Cipto tetangga saya yang juragan genting, untuk
membiayai sekolah saya. Dua belas tahun saya habiskan waktu saya untuk
mendengarkan guru bicara di kelas, mempercayai teori-teori. Aku hapalkan rums-rumus
rumit matematika, cosines, tangent, diferensial. Aku hapalkan teori Archemedes,
Lavoisier, Einstein, aku hapalkan dikotil monokotil. Aku hapalkan Undang-undang
Dasar 45 dari pembukaan, pasal-pasal hingga ayat-ayatnya hingga ke titik
komanya. Aku hapalkan berapa luas Indonesia berapa pulau-pulaunya. Yang kata
guru saya : “Indonesia itu negeri yang subur, gemah ripah loh jinawi.” Saya
hapalkan, di Cikotok ada tambang emas, di Tarakan ada tambang minyak, ada
tambang nikel, ada hutan, ada bijih besi. Yang kemudian kutahu semua itu memang
ada. Tapi bukan milikku. Dan yang paling kuhapal adalah butir-butir Pancasila.
“Kita harus mengembangkan toleransi. Kita harus mendahulukan kepentingan negara
di atas kepentingan pribadi dan golongan. Kita tidak boleh hidup boros. Kita
harus musyawarah untuk mufakat. Kita harus begini. Kita harus begitu. Begini…
Begitu…. Begini… Begitu….Begini… Begitu….. Di sekolah harus begini…eh di luar
begitu. Di sekolah bukan, eh di luar bukan bukan [bernyanyi] kan bukan… bukan…
bukan…. kan …. bukan… bukan….bukan. Kenyataannya semua menjadi bukan! Semua
teori, rumus, ambyar bubar! Nemku, rapotku, ijazahku macet ketika aku mencari
kerja. Ijazahku tak berbunyi apa-apa! Saya ingat betapa susahnya dulu, ketika
hanya punya ijazah madrasah. Pilihan pekerjaan yang layak hanya jadi babu.
Menjadi pembantu di rumah orang. Bekerja dari subuh hingga larut malam. Mulai
dari mencuci, mengepel lantai, memasak, menyuapi anak majikan, menidurkan anak
majikan, bahkan pernah disuruh memanjat ke atas genting. Pernah suatu ketika
keluarga majikan saya pergi ke luar kota, kesempatan itu saya gunakan untuk
tidur istirahat siang. Kesempatan yang tidak pernah saya dapatkan sehari-hari.
Tidak saya sadari karena nyenyaknya tidur, hujan turun deras sekali. Seluruh pakaian
yang dijemur basah semua, bahkan sebagian terjatuh dan kotor. Saya bingung dan
takut. Tapi tak tahu harus berbuat apa. Ketika majikan saya pulang, bukan
sekedar amarah, cacian yang saya terima. Tapi juga pukulan dan gaji saya selama
dua bulan saya kerja di situ hilang untuk menebus kesalahan saya. Majikan saya
mencaci : “Kecil-kecil kamu sudah belajar menjadi koruptor ya.” “Saya tidak
mengambil uang, Pak,” jawab saya. Setahu saya koruptor itu orang yang suka
mengambil uang yang bukan miliknya. “Kamu menyalahgunakan kesempatan,mencuri
waktu dan kesenangan yang bukan hakmu. Itu namanya koruptor,tahu!”
Astaghfirullah, lalu majikan saya yang menilep uang gaji yang menjadi hak saya,
apa itu bukan koruptor juga. Saya menangis, sedih, sakit, dan kecewa. Lalu saya
minggat, dan pulang ke kampong. Saya bodoh, dan kebodohan saya membuat saya
diperdaya. Untuk itu saya terus berusaha untuk sekolah lagi. Beruntung sebelum
peristiwa itu, gaji saya selalu saya kumpulkan, setelah sebagian saya berikan
kepada simbok, sehingga saya mempunyai uang untuk pulang ke kampung. Biarpun
susah payah, saya terus sekolah agar nasib saya jadi lebih baik. Tiga ijazah
saya punya. Dengan nilai yang cukup bagus. Bahkan nilai NEM SMA saya bagus
disbanding teman-teman. Saya bangga sekali karena pernah mengalahkan monster
yang paling ditakuti oleh anak-anak sekolah, guru, dan kepala-kepala sekolah
seluruh Indonesia, yaitu Ebtanas. Tapi kebanggaan itu runtuh ketika di
mana-mana saya terdepak dari pintu ke pintu mencari pekerjaan. Terjegal karena
bayangan bapak yang terus menguntit di belakang nama saya. Bayangan bapak saya
menggelapkan nama saya, ketika saya mencari keterangan surat bersih diri
terbebas dari ormas terlarang sebagai salah satu syarat mendaftar PNS. Saya
ingat betul kata Pak Lurah waktu itu : “Waduh, ndhuk, kamu itu memahami betul
to persoalan ini. Siapa bapakmu. Saya betul-betul tidak berani member
keterangan yang kau butuhkan. Gundhulku ndhuk, taruhannya.” Saya juga ingat
betul, kata Mbok Dhe Jumilah, tetangga sebelah rumah,ketika bisik-bisik dengan
Lek Nok di serambi langgar. Dan meskipun bisik-bisik saya mendengarnya karena
saya di belakang mereka. “Yu, si Sumarah itu kok ya, ketinggian karep.” “Ada
apa to?” “Itu mau jadi pegawai kantor. Ya jelas kejegal di kelurahan. Lha wong
keturunannya orang bekuan!” Aalah Bapak!! Di mana engkau? Aku ingin kau ada,
dan bungkam mulut orang-orang itu. Rasanya aku lebih percaya seperti kata
simbok, bahwa engkau baik, tapi lugu dan bodoh. Tapi, ketiadaanmu membuat aku
selalu takut dan gugup! Kalau benar bapakku bersalah, lantas apa iya aku,
simbok, Yu Darsi, Kang Rohiman harus menanggung dosa itu selamanya. Dikucilkan,
dirampas hak-hak kami? Selalu terdepak di negeri sendiri. Demikian, saya
menjerit, meraung-raung, dalam bibir yang terkunci. Saya lalu bekerja di sebuah
pabrik tekstil yang baru beroperasi di tetangga desa. Saya mendapat pekerjaan
di bagian produksi. Tak mungkin bekerja di bagian administrasi, meski saya
punya ijazah SMA dengan nilai bagus pun, surat bersih diri, tak mungkin saya dapatkan
sebagai syaratnya. Suatu ketika, saya mendapat kecelakaan ketika tengah
bekerja. Tulang tangan saya retak… Saya dibawa ke Rumah Sakit. Tangan saya
digips. Rasanya sakit sekali. Hanya dua hari saya opname di Rumah sakit.
Selebihnya disuruh berobat jalan. Tapi uniknya, dari berkas acara pengobatan
yang saya tangani, pabrik melaporkan 2 minggu saya dirawat. Dan uniknya lagi
saya lalu diberhentikan kerja dengan alasan setelah sakit nanti kerja saya tak
lagi sempurna. Dan uniknya lagi, saya tidak mendapat pesangon. Tapi, Kang
Rohiman kakak saya rajin membawa saya ke tukang pijat, sehingga tangan saya
sembuh. Setelah itu saya bekerja pada seorang juragan beras di kota kabupaten,
bernama Bu Jurwati. Semula tugas saya serabutan. Kadang ikut menyeret karung-karung
beras, kadang menimbangi beras dan mencatatnya. Lama-lama Bu Jurwati tahu saya
dapat menulis pembukuan uang dengan baik. Lalu saya mendapat pekerjaan
membukukan seluruh jual beli beras. Tentu saya sangat senang sekali. Pekerjaan
itu tidak terlalu melelahkan. Meski kadang-kadang saya juga harus melembur
hingga larut malam, terutama pada hari-hari tertentu. Misalny saat tanggal
muda. Suami Bu Juwarti, seorang pejabat di kantor kabupaten, saya tidak tahu
jabatannya apa. Hanya separoh lebih, jatah beras pegawai dibeli oleh Bu
Juwarti. Beras dari gudang Bulog itu bahkan kadang langsung dikirim ke rumah,
tanpa dibagikan ke pegawai yang menjual berasnya ke Bu Juwarti. Bu Juwarti juga
menampung beras-beras dari proyek sembako. Ceritanya begini, suatu ketika saya
kaget sekali karena muncul Pak Lurah Karangsari yang menjual beras ke Bu
Juwarti, berkarung-karung. Saya tahu, Pak Lurah punya sawah bengkok, tapi tak
mungkin panen sebanyak ini. Lagi pula mutu berasny jelek, apek, dan tidak
putih. Lalu saya ingat, sewaktu pulang ke Karangsari, saya tahu simbok mendapat
jatah beli beras murah dari kelurahan. Berasnya juga apek dan kekuningan. Tidak
salah lagi pasti beras yang dijual Pak Lurah adalah beras pembagian. Pak Lurah
kaget, saat bertemu saya pertama kali di rumah Bu Juwarti. Tapi selanjutnya
matanya menekan, dan menarik lengan saya, dia berbisik : “Sum, ini sekedar uang
saku untukmu.” Pak Lurah menyisipkan beberapa uang ke tanganku. Saya tahu
matanya yang menekan itu, mengatakan jangan kau bicarakan hal ini kepada
orang-orang. Dari pengalamanku itu, asya jadi tahu, kalau ada beras apek dan
kuning, ada dua kepastian, itu beras jatah pegawai atau jatah sembako. Dari
bekerja di juragan beras itu, saya berkenalan dengan seorang lelaki, yang
kemudian saya jatuh cinta padanya. Namanya Mas Edi, seorang tentara. Yang
sering mengantarkan beras-beras jatah pada tentara yang dijual kepada istri
komandan Mas Edi. Nah, Mas Edi bertugas mengantarkan beras-beras itu. Cinta
saya semakin bersemi, manakala saya tahu Mas Edi juga menaru hati pada saya,
rasanya hati saya melambung tinggi sekali. Tapi untuk kemudian terpelanting dan
jatuh ke jurang yang curam. Saya tak mungkin meneruskan hubungan cinta saya
dengan Mas Edi. Saya tidak mungkin membumikan impian untuk menjadi istrinya. Mas
Edi mundur teratur setelah mengetahui sejarah keluarga saya. Sebagai tentara
haram jadah jika mempunyai istri seperti saya. Lagi-lagi bayangan bapak
menggelapkan nama saya. Saya terus bekerja di juragan beras itu. Untuk itu saya
putuskan berhenti, saya pamit. Saya ingin pergi jauh. Saya ingin lari, mencari
tempat di mana bayangan bapak tidak lagi dapat menguntit lagi. Di tengah gulana
itu, simbok suatu sore berkata : “Sum, apa kamu mai kerja di Arab? Lihat si
Konah itu, Pulang dari Arab rumahnya jadi gedhong magrong-magrong, bisa beli
montor, bisa beli kebo. Lihat juga Sunarti anaknya Lek Mariyem. Dua tahun kerja
di Arab, pulangnya bisa buka toko kecil-kecilan.” Saya diam. Tapi kata-kata
simbok mengganggu pikiran saya. “Mbok, kalau mau pergi ke Arab, gimana caranya.
Dan mau dari mana biayanya?” Lalu segala suatunya kami urus, melalui perantara
seorang calo, saya dapat mendaftar sebagai seorang TKW, dan segala syarat saya
penuhi. Pekarangan simbok peninggalan bapak kontak untuk menyelesaikan semua
itu. Dari biaya-biaya administrasi di kelurahan, Depnaker, kantor imigrasi,
biro tenaga kerja, sampai biaya tetek bengek yang ternyata panjang betul yang
terkait. Saya tahu, saya paham memang harus begitu caranya. Termasuk caranya,
saya paham, Pak Lurah akhirnya mau mrmberi saya surat keterangan bersih diri,
pertama karena selipan dua ratus ribu, kedua karena kartu asnya di tangan saya
masalah bisnis berasnya itu, ketiga, toh saya hanya jadi TKW, apa yang mesti
ditakutkan dari seorang Sumarah, anaknya Suliman orang cidukan, bekuan PKI.
Termasuk jufa saya jadi paham betul, menyelipkan lembar-lembar uang agar
segalanya jadi cepat beres. Mengurus paspor dengan biaya lebih tiga kali lipat
dari harga semestinya. Memberi tip pegawai Depnaker, memberi tip calo, memberi
tip anu, memberi tip anu, dan untuk anu, anu, anu….. Ooalah mengapa tidak saya
sadari sejak dulu, bahwa segala sesuatunya bisa dengan mudah dengan
selipan-selipan itu. Jadilah saya, Sumarah binti Suliman jadi TKW lulusan SMA
dengan predikat NEM tertinggi, jadi babu di negeri orang. Cosinus, tangent,
diferensial jadi mesin cuci. Archimedes jadi teori menyeterika baju. Dikotil,
monokotil jadi irama kain pel. Teori pidato jadi omelan majikan. Dan…. 13….
Pulau dari Sabang Merauke yang subur makmur gemah ripah loh jinawi lenyap jadi
wajan penggorengan di dapur. Ooooo mana…. mana harum melati, hutan tropis,
kupu-kupu, minyak, emas, rotan, bijih besi?? Oooo mana cerita Pak Kasirin guru
madrasah saya tentang pribadi bangsa Indonesia yang adi luhung, ramah tamah,
kekeluargaan, gotong royong, etc, etc… Semua hanya bisa saya beli dengan uang.
Di negeri sendiri, saya menjadi rakyat selipan, setengah gelap, tak boleh
mendongakkan kepala, dan bicara. Di negeri sendiri saya di depak sana, di depak
sini, dikuntitkan baying-bayang bapak yang dihitamkan oleh mereka untuk
menggelapkan nama saya. Dan sekarang di negeri orang saya menjadi budak,
menjual impian untuk hidup lebih baik. Di negeri orang, saya hanguskan segala
cinta saya, seluruh kenangan manis, pahit getir, masa remaja saya. Saya pikir,
segalanya jadi berubah. Saya pikir, saya dapat bermetamorfosa dari ulat bulu
menjadi kupu-kupu indah. Tapi ternyata……. Sumarah tetap saja kandas. Di balik
jubah-jubah majikan saya, di balik cadar-cadar hitam majikan saya, segala nasib
saya kandas ! Saya disiksa, gaji saya setahun hilang untuk tetek bengek alasan
administrasi yang dicari-cari, dan bencana itu… saya diperkosa!!! Seperti budak
hina yang halal dibinatangkan. Bertahun-tahun saya Cuma diselipkan di negeri
sendiri. Kepala saya tidak boleh menyembul di tengah kerumunan. Apakah di
negeri orang saya masih dimelatakan. Tidak!! Kesadaran itu muncul tiba-tiba.
Saya harus mendongakkan kepala, meludahi muka orang yang membinatangkan saya,
mengangkat tangan dan meraih pisau tajam untuk kemudian saya masukan mata pisau
ke jantung hatinya. Majikan itu saya bunuh. Semuanya! Saya tahu, saya akan
menjadi gelap yang sesungguhnya. Bertahun-tahun saya tidak salah tapi
disalahkan. Sekarang dengan berani saya berbuat salah. Salah yang sesungguhnya.
Saya sadar, saya akan divonis mati. Saya tidak butuh pembela. Saya tidak butuh
penasihat hukum. Tidak usah saya dipulangkan dan diadili di negeri saya. Karena
persoalan akan mejnadi jauh lebih rumit. Karena tidak ada yang bisa dihisap
lagi dari seorang babu sepreti saya, maka saya ragu apakah hukum di negeri saya
bisa membela saya. Dewan hakim yang terhormat, inilah saya. Nama saya Sumarah.
Bagi saya perjuangan, harapan, penderitaan, semua buth keberanian. Tapi harapan
menjadikan penjara bagi hidup saya. Tidak, saya sekarang bebas dar harapan.
Hidup saya penuh ketakutan. Sekarag saya harus berani karena hidup dan mati
adalah dua sisi keping nasib. Dan keping kematian yang terbuka di telapak
tangan saya, itulah yang harus saya jalani sekarang. Dengan berani! Senang,
sakit, dosa, pahala, semua sama. Ada resikonya. Inilah saya, nama Sumarah. Saya
siap mati. Siang itu matahari masih membara di atas kepala. Bibir perempuan itu
sudah terkatup. Tapi gema suaranya masih memantul-mantul, seperti hendak
menggeletarkan seluruh dinding kepalaku. Apa yang bisa perempuan itu kisahkan,
seperti kaca bening buatku. Di sana aku bisa melihat jelas, sebagian besar otak
manusia ada di perut. Perut mampu mengendalikan seluruh proses hidup manusia.
Demi perut seorang dapat memutarbalikkan kebenaran. Demi perut seorang dapat
menjadi singa bagi orang lain. Menerkam dan menancapkan kuku-kukunya di jantung
nasib orang. Demi perut, segala sesuatu bisa bergeser. Kemanusiaan, moral
hukum. Demi perut, hukum dapat diputarbalikan. Dan demi perut yang harus
diselamatkan terus menganga, meminta, mencari umpan, mengirim sinyal, agar data
dimanipulasikan, agar fakta direkayasa, agar di benam kepala orang, agar mulut
katakana ya meski kebenarannya tidak. Seorang Suliman meski tidak logis
di-PKI-kan, tapi jika membelanya berarti ancaman bagi jabatan, ancaman bagi
perutnya, maka tak ada seorangpun yang menepiskan ketakutan untuk membelanya.
Kekuasaan itu begitu indah. Sihir mujarab untuk menyumpal perut-perut yang
menganga. Aku tahu itu. Karena aku, orang Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar