MARSINAH MENGGUGAT – 1
Karya Ratna Sarumpaet (Satu Merah Panggung)
ALAM DILUAR ALAM KEHIDUPAN. DISEBUAH
PERKUBURAN.
MARSINAH SEORANG PEREMPUAN MUDA, USIA 24
TAHUN, SEORANG BURUH KECIL DARI SEBUAH PABRIK ARLOJI DI PORONG, JAWA
TIMUR, TANGGAL 9 MEI 1993 DITEMUKAN MATI TERBUNUH., DIHUTAN JATI DI MADIUN.
DARI HASIL PEMERIKSAAN OTOPSI, DIKETAHUI KEMATIAN PEREMPUAN MALANG INI
DIDAHULUI PENJARAHAN KEJI, PENGANIAYAAN DAN PEMERKOSAAN DENGAN MENGGUNAKAN
BENDA TAJAM. KASUS KEMATIAN
PEREMPUAN INI KEMUDIAN RAMAI DIBICARAKAN. BANYAK HAL TERJADI. ADA KEPRIHATINAN
YANG TINGGI YANG MELAHIRKAN BERBAGAI PENGHARGAAN. TAPI PADA SAAT BERSAMAAN
BERBAGAI PELECEHAN JUGA TERJADI DALAM PROSES MENGUNGKAP SIAPA
PEMBUNUHNYA. SETELAH MELALUI PROSES YANG AMAT PANJANG DAN TAK MEMBUAHKAN
APA-APA, KASUS UNTUK JANGKA WAKTU CUKUP PANJANG, DAN SEKARANG.,
SETELAH MARSINAH SEBENARNYA SUDAH MENGIKHLASKAN KEMATIANNYA MENJADI
KEMATIAN YANG SIA-SIA, TIBA-TIBA SAJA KASUS INI DIANGKAT KEMBALI. MENDENGAR HAL
ITU MARSINAH SANGAT TERGANGGU, DAN MEMUTUSKAN UNTUK MENENGOK SEBENTAR KE ALAM
KEHIDUPAN, TEPATNYA, PADA SEBUAH ACARA PELUNCURAN SEBUAH BUKU YANG DI TULIS
BERDASARKAN KEMATIANNYA. INILAH UNTUK PERTAMA KALINYA MARSINAH
MENGUNJUNGI ALAM KEHIDUPAN. KAWAN-KAWAN SENASIB DI ALAM KUBUR TAMPAKNYA KEBERATAN.
DAN DARI SITULAH MONOLOG INI DIMULAI.
____________________________________________________________________
ADA SUARA-SUARA MALAM. PERTUNJUKAN INI
TERJADI DI SEBUAH PERKUBURAN. MARSINAH TAMPAK MERINGKUK DI SEBUAH BALE,
GELISAH.
DIA TERTEKAN, RAGU AKAN KEPUTUSAN YANG
DIBUATNYA.
Kalau saja dalam kesunyian mencekam yang
dirasuki hantu- hantu ini aku dapat merasakan kesunyian yang
sebenar-benarnya sunyi. Kalau saja dalam kesunyian ini aku
dapat menutup telingaku dari pekik mengerikan, raung dari rasa lapar,
derita yang tak habis-habis. Kalau saja sesaat saja aku diberi kesempatan
merasakan betapa diriku adalah milikku sendiri….
DIKEJAUHAN, TERDENGAR SUARA ORANG-ORANG
YANG SEDANG MEMBACAKAN AYAT-AYAT, YANG SEMAKIN LAMA TERASA SEMAKIN DEKAT DAN
SEMAKIN ENGGEMURUH. MARSINAH BANGKIT PERLAHAN, MURUNG.
Apa gerangan kata Ayahku tentang waktu
yang seperti ini…. Kejam rasanya seorang diri, diliputi amarah dan rasa benci.
Tersekap rasa takut yang tak putus-putus menghimpit….. Ketakutan yang tak bisa
diapa-apakan….. Tidak bisa bunuh, atau dilawan…..
MARSINAH SEPERTI MENDENGAR SUARA-SUARA
DARI MASA LALUNYA, SUARA-SUARA DERAP SEPATU, YANG MEMBUATNYA GUSAR.
Suara-suara itu…. Dia datang lagi….
Seperti derap kaki seribu serigala menggetar bumi….
Mereka datang menghadang
kedamaiku….. mereka mengikuti terus….. Bahkan sampai ke liang kubur ini
mereka mengikutiku terus….
Kalau betul maut adalah tempat menemu
kedamaian….. Kenapa aku masih seperti ini?
Terhimpit ditengah
pertarungan-pertarrungan lama…. Kenapa pedih dari luka lamaku masih
terasa menggerogoti hati dan perasaanku…… Kenapa amarah dan
kecewaku masih seperti kobaran api membakarku ?
TERDENGAR SUARA SESEORANG NEMBANG,
LIRIH….. TEMBANG ITU SESAAT SEOLAH MENGENDURKAN KETEGANGAN MARSINAH. DIA
BICARA, LIRIH.
Dengan berbagai cara nek Poeirah,
nenekku, mengajarkan kepadaku tentang kepasrahan….. Dia
mengajarkan kepadaku bagaimana menjadi anak yang menerima dan pasrah……
Pasrah itu yang kemudian menjadi kekuatanku….. Yang membuatku selalu
tersenyum menghadapi kepahitan yang bagaimanapun. Kemiskinan
keluargaku yang melilit…… Pendidikanku yang harus terputus ditengah jalan…..
Perempuan ini jugalah yang mengajarkan
kepadaku betapa hidup membutuhkan kegigihan…… Tapi kegigihan
seperti apa yang bisa kuberikan sekarang…… Pada saat mana aku sudah
menjadi arwah seperti ini, dan mereka masih mengikutiku terus ?
Sulit mungkin membayangkan bagaimana
dulu kemiskinan melilit keluargaku…… Bagaimana setiap pagi dan sore hari aku
harus berkeliling menjajakan kue bikinan Nenekku, demi seratus duaratus
perak. Aku nyaris tak pernah bermain dengan anak-anak sebayaku.
Kebahagiaan masa kecilku hilang…… Tapi aku ikhlas…… Karena dengan uang itu aku
bisa menyewa sebuah buku dan membacanya sepuas- puasnya.
Berupaya meningkatkan pendidikanku yang
pas-pasan….. Merindukan kehidupan yang lebih layak…. Berlebihankah itu ?
Memiliki cita-cita….. Memiliki harapan-harapan….. Berlebihankah itu ?
Lalu kenapa cita-citalah yang akhirnya
memperkenalkanku pada arti kemiskinan yang sesungguhnya. Kenapa
harapan-harapanku justru menyeretku berhadapan dengan ketidak berdayaan yang
tak terelakan ?
DERAP SEPATU DARI MASA LALU ITU KEMBALI
MENGGEMURUH MEMBUAT MARSINAH KEMBALI TEGANG.
Itulah kali teakhir aku datang ke Nganjuk.
Ketika Nenekku, tidak seperti biasanya, berkeras menahanku. Dia bicara banyak
tentang firasat. Aku tahu dia membaca kegelisahanku…… Tapi aku terlalu gusar
untuk menggubris nasehat-nasehatnya….. Dan sampai akhirnya aku meningggalkan
Nganjuk, aku tidak pernah menjelaskan kepadanya, kenapa saat itu
Sidoarjo menjadi begitu penting untukku…..
MARSINAH MENDADAK SEDIH LUAR BIASA.
Apa yang harus kukatakan ? Apa yang
dimengerti perempuan tua itu tentang hak bicara ? Tentang
pentingnya memperjuangkan hak? Dia hanya mengerti turun ke sawah sebelum
matahari terbit, dan meninggalkannya setelah matahari terbenam, karena perut
tiga orang cucu yang diasuhnya harus selalu terisi.
MARSINAH MULAI GUSAR HALUS, SUARA-SUARA
DI MASA LALUNYA DULU MULAI MENGIANG DITELINGANYA.
Barangkali kalian menganggap apa yang
kulakukan ini tidak masuk akal….. Barangkali kalian menganggapnya perbuatan
sinting…. Tapi aku harus pergi…… Dengan atau tanpa kalian, aku akan pergi…..
Setelah empat tahun lebih aku merasa
mati sia-sia, mereka tiba-tiba kembali mengungkit-ungkit kematianku.
Kematian Marsinah murni kriminal. Kematian Marsinah tidak ada hubungannya
dengan pemogokan buruh. Kematian Marsinah berlatar belakang balas
dendam.Dan hari ini, sebuah buku yang ditulis atas kematianku, diluncurkan.
Gila !
Aku ? siapa aku ? Seorang perempuan
miskin yang dimasa hidupnya tidak punya kemampuan membeli sebuah bukupun untuk
dibaca atau dibanggakan…..
Apa yang mereka inginkan dariku? Mereka
menggali tulang-tulangku. Dua kali mereka membongkar kuburanku, juga untuk
sia-sia, terkontaminasi….. Bangsat!
Ini mungkin bagian yang paling aku
benci. Mereka selalu menganggap semua orang bodoh. Mereka selalu
menganggap semua orang bisa dibodohi.
HENING LAGI…..
Tapi itulah mungkin betapa aku,
kita-kita ini, sesungguhnya adalah orang-orang pilihan.
Orang-orang yang dipilih untuk sebuah rencana besar, dan sekaranglah saatnya.
Pada saat kita sudah tidak eksist. Pada saat kita sudah tidak
mungkin dibunuh karena kita toh sudah terbunuh. Mereka boleh
dongkol atau mengamuk sekalian mendengar apa yang kita ucapkan. Tapi
menggebuk kita ? Masa arwah mau digebuk juga ?
SUARA -SUARA MASA LALU ITU KEMBALI
TERDENGAR. BEBERAPA SAAT
MARSINAH TAMPAK TEGANG DAN TERGANGGU,
TAPI DIA MELAWANNYA.
MELANGKAH SATU-SATU, IA MENGADAHKAN
MUKANYA BICARA PADA
SUARA-SUARA YANG MENGGANGGUNYA ITU.
Suara-suara itu…. Mereka
mengikutiku terus….. Aku tahu mereka akan menggangguku lagi. Aku
tahu mereka akan terus menggangguku. Aku tidak takut dan aku tidak akan
berhenti….. Aku akan berdiri ditengah peluncuran buku itu, dan aku akan
menghadapi mereka disana.
Algojo-algojoku….. Orang-orang yang dulu
begitu bernafsu menghabisi hidupku. Berbaur dengan mereka yang dengan gigih
telah berusaha menegakan keadilan atas kematianku. Lalu aku akan menikmati
bagaimana mereka satu demi satu berpaling menghindari tatapanku, atau
menundukkan kepala; atau lari lintang pukang di kejar dosanya sendiri. Dan
sebuah peluncuran buku yang lazimnya dipenuhi tawa, tepuk tangan dan sanjungan
itu akan berubah menjadi sebuah upacara mencekam, Marsinah, muncul
menggugat’ Belati berlumur darah itu muncul didepan matamu, setelah
sekian lama kau mengira, kau telah berhasil melenyapkannya dari tuntutan
keadilan.
KETIKA SUARA-SUARA DI MASA LALU ITU
MEREDA, MARSINAH JUSTRU
TAMPAK SEMAKIN MURUNG DAN GUSAR. IA
MENJATUHKAN TUBUHNYA
DILANTAI, LETUH. IA BICARA SEPERTI PADA
DIRINYA SENDIRI.
Aku melihat begitu banyak tangan
berlumuran darah…..Aku melihat bagaimana keserakahan boleh terus berlangsung,
para pemilik modal boleh terus mengeruk keuntungan, para Manager dan para
pemegang kekuasaan boleh terus-menerus bercengkerama diatas setiap tetes
keringatku. Tapi seorang buruh kecil seperti diriku berani membuka
mulutnya menuntut kenaikan upah ? Nyawanya akan terenggut.
Dan sekarang lihat bagaimana mereka
menjadikan kematianku bagai jembatan emas demi kemanusiaan; Demi ditegakkannya
keadilan; Demi perbaikan nasib buruh.
MARSINAH TERTAWA, GETIR.
Memperbaiki nasib buruh…. Dari 1500
menjadi 1700, dari 1700 menjadi 1900…. Satu gelas teh manis dipagi hari, satu
mangkok bakso disiang hari, lalu satu mangkok lainnya di malam
hari. Itu takaran mereka tentang kebahagiaan seorang buruh, yang
dituntut untuk memberikan seluruh tenaga dan pikirannya, tanpa boleh mengeluh.
Mereka bermain diantara angka-angka.
Mereka tidak pernah mempertimbangkan apakah sejumlah angka mampu memanusiakan
seorang buruh. Dan mereka menepuk dada karena itu.
Memperbaiki nasib buruh…. Mana mungkin
kematian seorang buruh kecil seperti diriku mampu memanusiakan
buruh di tengah sebuah bangsa yang sakit ?
SUARA DARI MASA LALU ITU
KEMBALI MENGHENTAK, MENGEJUTKAN MARSINAH. TAPI DIA TIDAK TAKUT.
Aku tidak takut. Aku tidak takut. (KE
KAWAN-KAWANNYA) Aku tidak takut. (KE SUARA-SUARA) Aku bisa mempertanggung
jawabkan semua itu….. Masa hidupku yang terhempas-hempas yang terus – menerus
dihantui rasa takut bisa mempertanggung jawabkan semua itu.
Kematianku yang menyakitkan. Tulang-tulangku yang remuk; darahku yang
berceceran membasahi tumit kalian ……. Bisa mempertanggung jawabkan semua itu.
Bangsa yang bagaimana yang kalian
harapkan aku menyebutnya? Aku mengais-ngais mencari sesuap nasi disana. Sambil
terus-menerus tersandung-sandung, dikejar-kejar gertakan dan
ancaman-ancaman kalian.
Aku disiksa disana….. Aku diperkosa
disana, dibunuh dengan keji….. Begitu kalian telah mematikanku.
Begitu kalian merenggut seluruh hak hidupku…… Bangsa yang bagaimana kalian
pikir aku menyebutnya? Bangsa yang bagaimana?
KETIKA SUARA DARI MASA LALU ITU
MENGHILANG, MARSINAH LAGI-
LAGI GUSAR. IA DUDUK SAMBIL MEMELUK
KEDUA LUTUTNYA, SEPERTI
MERINGKUK.
Apa sebenarnya yang sedang
kulakukan ini ? Aku kembali mengorek luka itu…. Tuhan, ini menyakitkan. Tidak !
Ini terlalu menyakitkan. Aku tidak akan melakukan ini. Tidak ! Persetan dengan
sebuah buku yang terbit. Persetan dengan calon-calon korban yang sekarang ini
mungkin telah berdiri ditepi liang lahat dan segera akan
menelannya. Aku arwah, dengan air mata yang tak habis-habis…. Arwah yang terus
menerus gusar digelayuti beban lama….. Apa yang bisa kulakukan ? Tidak !
MARSINAH KEMBALI MENENGADAHKAN KEPALA,
SEPERTI BICARA PADA
SUARA-SUARA ITU.
Sampaikan pada mereka, Marsinah tidak
akan datang! Marsinah yang lemah….. Yang lemah lembut….. Perempuan miskin
yang tak berdaya dan tidak tahu apa-apa….. Tidak! Dia tidak akan datang. Dia
akan menunggu hingga peradilan agung itu tiba, dan dia akan berdiri disana
sebagai saksi utamanya.
SUASANA TIBA-TIBA BERUBAH, CAHAYA
MENJADI MERUANG.
MARSINAH BANGKIT HERAN.
MARSINAH BERPUTAR MENGAMATI
SEKELILINGNYA.
Aku disini sekarang….. Sebuah ruangan
yang megah….. Dan disini, sekelompok manusia berkumpul…..
MARSINAH SURUT KE BALE, MENGAMBIL
SELENDANGNYA.
Aku akan menghadapi ini dengan
sebaik-baiknya…..Aku akan membuat mereka terperangah. Aku akan
mengecohkan mereka dari setiap sudut yang tidak mereka duga sama sekali.
MARSINAH BERGERAK KE HADAPAN HADIRIN,
SAMBIL MENATAP SEKELILING.
Aku disini sekarang…..
TATAPAN MARSINAH TERHENTI PADA SATU
KELOMPOK HADIRIN.
Dan kalian….. Aku mengenali betul
siapa kalian….. Sebuah generasi, yang seharusnya ceria dan merdeka, duduk
disini dengan tatapan mengandung duka……
MARSINAH BERGERAK KEARAH KELOMPOK ITU.
Demi Tuhan. Bagiku, kalian adalah fakta
paling menyakitkan. Kemarahan kalian itu adalah kemarahanku dulu. Harapan dan
cita-cita kalian itu adalah harapan dan cita-citaku dulu. Cita-cita yang
terlalu sederhana sebenarnya untuk mengorbankan satu kehidupan.
Satu saat, ditengah sebuah arak-arakan,
aku menyaksikan kalian menengadahkan muka ke langit, marah….. Dengan mulut
berbuih, kalian memekik menuntut perubahan Setiap kali aku melihat kalian
meronta seperti itu, perasaanku terguncang. Aku ingin sekali berkata, “Jangan!”
Aku adalah korban dari kemarahan seperti
itu. Dan tidak satupun dari kita bisa mengelak, kalau kematianku adalah lambang
kematian kalian. Lambang kematian sebuah generasi. Kematian dari setiap
cita-cita yang merindukan perubahan.
MARSINAH BERHENTI BEBERAPA SAAT SEPERTI
SEDANG MENJERNIHKAN PIKIRANNYA. IA LALU MENATAP KELANGIT, DAN MULAI BICARA.
Kalian mungkin tidak akan memahami ini
…… Tapi aku ya. Aku memahaminya betul. Didalam matiku aku telah melakukan
perjalanan mundur. Sebuah penjelajahan berharga yang kemudian membuka mataku
tentang berbagai hal.
Dari situ aku jadi tahu banyak….. Aku
jadi tahu kalau dunia dimana dulu aku dilahirkan; Dunia yang
kemudian dengan dingin telah merenggut hak hidupku; adalah dunia yang sakit,
sakit sesakit-sakitnya. Dunia dimana kebenaran-kebenaran dibungkus,
dimasukkan ke dalam peti lalu dikubur dalam-dalam……
Didunia seperti itulah aku dibungkam.
Tidak cukup hanya dengan gertakan, dengan penganiayaan dan pemerkosaan
yang dengan membabi buta telah mereka lakukan. Untuk yakin mulutku tidak
lagi akan terbuka, mereka mencabut nyawaku sekaligus.
Sekarang, apa yang harus kukatakan pada
kalian? Aku tahu menolak adalah hak kalian. Hak paling azasi dari setiap umat.
Tapi lihat, pelajaran apa sekarang yang kalian peroleh dari apa yang aku
alami?
MARSINAH MENGAMBIL SEBUAH KORAN,
LALU MEMBUKA-BUKANYA,
SESAAT.
Kalian pasti tidak bisa membayangkan
seberapa banyak kebenaran yang aku ketahui, yang seharusnya kalian
ketahui karena sebagai warga masyarakat kalian berhak untuk itu. Aku
tidak membaca apa-apa disini. Berita yang kalian dapatkan hanya berita yang
boleh kalian dapatkan, bukan yang berhak kalian dapatkan.
Itu sebab kalian baru heboh setelah
kebakaran hutan merambat kemana-mana dan mulai menelan korban. Sementara
aku…..
Aku sudah mengetahui semua itu lama
sebelum api pertama disulut. Aku tahu siapa yang menyulut api, dan aku tahu
persis kenapa. Semua kalian heboh membicarakan kebakaran hutan. Semua
kalian marah dan resah….. Koran-koran, seminar-seminar, pertunjukan-pertunjukan
kesenian meradang membicarakan kebakaran hutan, seolah kebakaran hutan
itu bencana yang datang begitu saja dari langit dan hanya mungkin
ditangiskan pada Tuhan. Kehebohan yang tak bertenaga dan tak punya gigi…..
MARSINAH MEMBACA KORAN
Pemulihan kondisi moneter akan terus
diupayakan. Jangan aku dikultuskan….. Tapi bukan berarti aku menolak
untuk dikultuskan….. Namun, renungkanlah….. Waou….
MARSINAH MELEMPAR KORAN ITU KASAR. TAPI
TIBA-TIBA JADI TERPERANJAT ATAS ULAHNYA.
Sebentar! Apakah diruangan ini ada intel
atau aparat? Alhamdulillah….. Dan tolong dicatat baik-baik. Marsinah sebenarnya
tidak sungguh-sungguh ingin menggugat. Dia hanya takjub….. Rakyat
yang mana yang sempat memikirkan pemulihan kondisi moneter? Apa yang
mampu mereka pikirkan dengan perut melilit? Mereka terseok-seok terancam
kelaparan. Pikiran dan perasaan meraka tercekam mendengar ratusan orang mati
karena kelaparan justru ditempatkan dimana uang sedang terus ditambang.
Didunia seperti itulah kalian
dilahirkan. Dunia dimana serigala-serigala berkeliaran mengejar nama dan
kemuliaan, dan untuk itu kebodohan dan kelaparan kalian penting terus
dipertahankan. Dunia dimana kemiskinan kalian dijadikan aset
penting, demi lahirnya seorang Pahlawan, Pahlawan Pengentasan Kemiskinan.
Didunia seperti itulah kalian tumbuh
sebagai generasi penerus. Dunia dimana diatas pundak kalian masa depan sebuah
bangsa dipercayakan, sambil pada saat yang sama, kedalam rongga hidung kalian
serbuk yang mematikan akal sehat, terus menerus ditiupkan. Generasi tumbal…..
Generasi yang malang….
MARSINAH MEMBUANG PANDANGAN KE ARAH
LAIN.
Lalu kalian…. Entah apa yang aku katakan
pada kalian? Terus terang, berhadapan dengan kalian adalah bagian yang paling
aku takutkan. Lengan kananku biru kejang-kejang dicengkram dengan kasar oleh
seorang satpam yang mencoba menjaili izin haidku dengan merogoh kasar celana
dalamku.
Berminggu-minggu si Kuneng, buruh
dibawah usia itu dibelenggu rasa takut ketika satpam lain dengan kasar meremas
susunya yang belum tumbuh, yang masih melekat ditulang rusuknya.
Satpam-satpam itu sama melaratnya dengan kami. Sama menderitanya. Hanya karena
mereka laki-laki dan punya pentungan….. Mereka merasa berhak ikut-ikutan
melukai kami…… Ikut-ikutan memperlakukan kami bagai bulan-bulanan. Tapi bukan
Subiyanto.
Bagi kami Subiyanto adalah kekecualian.
Subiyantolah yang membawa Kuneng ke ahli jiwa, ketika perempuan itu satu saat
betul-betul terguncang. Dia mencari pinjaman kesana kemari untuk itu. Bagi kami
Subiyanto selalu menjadi pelindung…. Dan dia dituduh sebagai salah satu
pembunuhku ? Gila….. Lalat hinggap dimakan malamnya dia tidak akan
mengusirnya. Itulah Subiyanto.
MARSINAH MEMBUANG PANDANGANNYA, JAUH.
SINIS.
Aku menyaksikan bagaimana Lembaga
Peradilan berubah menjadi lembaga penganiayaan. Aku menyaksikan bagaimana
saksi-saksi utama dibungkam, dilenyapkan….. Menyaksikan saksi-saksi palsu
berdiri seperti boneka, remuk dan ketakutan…. Dan Subiyanto ada disana…..
Lelaki berhati lembut itu disiksa disana. Dianiaya, ditelanjangi, disetrum
kemaluannya, dan dipaksa mengakui telah ikut membunuhku. Mereka menciptakan
cerita-cerita bohong; Mereka memfitnah; Mereka menghakimi orang-orang yang
tidak pernah ada.
Kalian semua tahu itu bohong. Kalian
tahu persis itu rekayasa. Aku tahu kalian akhirnya berhasil membebaskan
Subiyanto dari rekayasa sinting itu. Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana
mungkin nyawaku lepas begitu saja dari tubuhku tanpa seorang pelaku?
Apa yang akan kalian katakan tentang
itu? Bahwa Hukum itu gagap? Bahwa Lembaga Peradilan itu gagap? Bahwa diatas
meja, dimana mestinya ditegakkan disitulah, uang, darah dan peluru lebih dahulu
saling melumuri? Demi Tuhan. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana
kelak kalian akan mempertanggungjawabkan itu pada anak cucu kalian…..
Lembaga Peradilan adalah harapan terakhir bagi orang-orang kecil seperti
kami. Satu-satunya tempat yang seharusnya memberikan pada kami perlindungan.
Tapi apa yang kami dapatkan? Apa yang
kami dapatkan?
MARSINAH TIBA-TIBA BERHENTI, MENGALIHKAN
TATAPANNYA KE ARAH
LAIN.
Nanti dulu. Aku seperti menyaksikan
sebuah pemandangan bagus.
MARSINAH MENGAMBIL TEROPONG DARI
MEJA PERLENGKAPANNYA, UNTUK BISA MELIHAT DENGAN JELAS.
Bukankah bapak yang duduk di pojok itu
adalah seorang anggota DPR? Atau….. Jangan-jangan, beliau ini adalah
anggota DPR dari Partai terlarang itu? Hm…. Lagi-lagi Kuneng…. Lagi-lagi
perempuan malang itu mengingatkanku betapa menyakitkannya menjadi orang tak
berdaya. Satu tahun Kuneng berhasil menunda pengosongan
kampung Ijo itu. Kampung dimana
Orangtuanya memiliki sepetak kecil tanah yang dibeli dengan cara cicilan.
Bulak-balik Kuneng ke kantor DPR. Dia
yakin betul para wakil Rakyat itu mampu membelanya memperoleh ganti
rugi yang lebih layak.
Selesai