Daftar Isi

Minggu, 28 April 2013

Simpang Ajal


Simpang Ajal
Cerpen Satmoko Budi Santoso

SELESAI sudah tugas Montenero. Karenanya, kini ia tinggal bunuh diri. Bunuh diri! Itu saja. Betapa tidak! Ia telah membunuh tiga orang itu sekaligus. Ya, tiga orang. Santa, orang yang dengan serta-merta memenggal kepala bapaknya ketika bapaknya menolak menandatangani selembar kertas yang berisi surat perjanjian untuk terikat dengan sebuah partai. Lantas Denta, yang ketika pembunuhan itu terjadi berusaha membungkam mulut bapaknya agar tidak berteriak, serta Martineau yang mengikatkan tali pada tubuh bapaknya agar bapaknya tak bergerak sedikit pun menjelang kematiannya. Karena itu, sekarang, Montenero sendiri tinggal bunuh diri!

"Selamat malam, Montenero. Sebaiknya kamu kubur dulu ketiga mayat itu baik-baik! Setelah itu, terserah!" ucap batin Montenero, meronta.

"Ya, kubur dulu! Lantas, selamat tinggal!" sisi kedirian batin Montenero yang lain menimpali.

Sesungguhnya Montenero memang tidak perlu menjumput beragam kebijaksanaan untuk sesegera mungkin mengubur mayat-mayat itu. Toh memang, tugas pembantaiannya telah usai. Dan dengan sendirinya, dendam yang bersemayam di dalam dirinya lunas terbalaskan.

"Tetapi, semestinya engkau mempunyai cukup rasa kemanusiaan untuk tidak membiarkan mayat-mayat itu menggeletak begitu saja karena kau bunuh! Kasihan tubuh mereka menggeletak! Semestinya jika dengan cepat mereka menjadi makanan belatung-belatung menggiriskan di dalam tanah. Bukan menjadi makanan empuk bagi lalat-lalat hijau!" Belati, yang telah menikam dada Santa, Denta, dan Martineau masing-masing sebanyak enam kali, yang sepertinya sangat tahu berontak batin Montenero, ikut angkat bicara.

Montenero menghela napas. Menggeliat.
"Ah, benar. Sudah semestinya. Sekarang, engkau harus bisa membebaskan pikiranmu dari angan-angan tentang balas dendam. Ingat, ketiga mayat itu telah menjadi seonggok daging yang tak berarti. Harus dikubur! Engkau harus mengubah pola pikir yang begitu konyol itu, Montenero," cecar sebilah Pedang, yang rencananya ia gunakan juga untuk membunuh, tetapi Santa, Denta, dan Martineau ternyata cukup memilih mati cuma dengan sebilah Belati.

"Oh ya. Ya. Aku ingat lagi sekarang. Engkau harus mempersiapkan banyak keberanian agar kau menjadi tidak gagu dalam bersikap. Jangan seperti ketika kau akan membunuh! Kau hunjamkan diriku ke dada ketiga mayat itu dengan gemetar. Sekarang, untuk menguburkan ketiga mayat itu, tak perlu ada denyut ragu yang berujung gemetaran badan, desah napas memburu, suara terengah-engah, dan keringat dingin yang keluar berleleran. Semua itu harus diubah. Dengan segera!"

Montenero melirik jam tangan. Kurang tiga puluhan menit kokok ayam bakalan meletup kejut. Ia menghapus keringat dingin yang perlahan-lahan tapi pasti mulai membanjiri muka dan tangannya.

"Cepat lakukan! Keberanian telah datang dengan sendirinya. Lakukan!"
Angin pagi mendesir. Jam tangan terus berdetak. Montenero pucat. Lunglai. Apa yang dikatakan oleh Belati dan Pedang itu ada benarnya. Tak ada kebijaksanaan lain menjelang pagi hari itu kecuali penguburan. Tentu saja, penguburan dengan segala kelayakannya. Ada dupa, bunga, kain pembungkus mayat, dan pastilah keberanian. Untuk yang terakhir, soal keberanian itu memang sudah sedikit dimiliki Montenero. Tetapi, untuk dupa, bunga, dan juga sesobek kain pembungkus mayat? Atau, pikiran tentang sesobek kain pembungkus mayat sungguh tak diperlukan lagi?

"Ah, begitu banyak pertimbangan kau! Ambillah cangkul! Gali tanah yang cukup untuk mengubur ketiga mayat itu sekaligus. Cepat! Tunggu apa lagi, ha?! Ayo, berikan kelayakan kematian kepada Santa, Denta, dan Martineau. Setidaknya, agar ruh mereka bisa sedikit tertawa di alam baka sana. Cepat Montenero! Waktu tinggal sebentar! Masih ada tugas-tugas lain yang harus kau panggul untuk mencipta sejarah. Sejarah, Montenero! Jangan main-main! Cepat! Ayo, dong. Cepat!!!"

Montenero diam. Terpaku. Ia sebenarnya memang tidak perlu mempertimbangkan apa-apa lagi kecuali segera mengubur ketiga mayat itu serapi mungkin, agar paginya tidak sia-sia karena dikorek-korek anjing. Lantas, selesai! Sejarah baru tergores. Bapaknya yang mati sangat mengenaskan dengan kepala terpenggal dari tubuhnya, terbalas sudah. Meskipun kematian Santa, Denta, dan Martineau tidak sempurna seperti kematian bapaknya, tetapi setidaknya mati. Itu saja. Karena hanya sisa keberanian itulah yang dimilikinya. Kebetulan memang juga mati, bukan? Tuntaslah cerita ibunya yang selalu membekas dalam ingatan dan membuatnya selalu berpikir dan bersikap semirip orang sableng.

Montenero memutuskan mengambil cangkul. Belati dan Pedang tertawa. Membuat Montenero kembali gundah, berada dalam sangkar kebingungan. Keringat berleleran lagi dari sekujur tubuhnya. Tangannya kembali gemetar. Dengan berteriak sekeras mungkin, Montenero membanting cangkul yang sudah tergenggam kencang di tangannya. Berarti keberaniannya sedikit hilang, bukan? Bahkan barangkali hilang sama sekali? Belati dan Pedang kebingungan. Keduanya pucat pasi. Motivasi apa yang mesti disuntikkan untuk membangkitkan kesadaran keberanian Montenero menjelang matahari terbit?

"Aku tak mampu lagi melakukan apa-apa. Aku telah menuntaskan tugasku. Aku telah mencipta…. Uh…. Semestinya kau tak menghimpitku dengan hal-hal kecil yang justru akan menjebakku pada rasa bersalah semacam ini!" dengan suara penuh gemetar, seolah dicekam oleh ketakutan entah apa, Montenero angkat bicara.

"O…. Kau menganggapnya hal kecil, Montenero? Harusnya aku tadi menolak untuk kau gunakan membunuh jika kau menganggap penguburan adalah sebagai hal yang kecil, remeh. O…. aku bisa saja mogok untuk membunuh bila akhirnya kau malah bimbang sikap semacam ini! Kau tahu, Montenero. Aku bisa balik mengubah keberanianmu untuk membunuh. Aku bisa tiba-tiba saja menikam dadamu sendiri di depan Santa, Denta, dan Martineau. Bangsat! Anjing, kau!!!"

Montenero terpaku. Suasana di sekitar tempat pembantaian itu merayap senyap. Montenero berulang-kali blingsatan. Montenero terus-menerus mengusap keringat yang berleleran membasahi sekujur wajah. Dan detik terus saja berdetak. Sesekali ia garuk-garuk kepala sembari berjalan mondar-mandir. Belati dan Pedang cuma memandangi saja. Bisa jadi, Belati dan Pedang memang sudah kehabisan kata-kata untuk memotivasi Montenero. Sesekali dilihatnya mayat Santa yang terbujur kaku, Denta yang terkapar melingkar bagai ular, dan Martineau yang jika diperhatikan secara jeli ternyata malah tersenyum di puncak kenyerian kematiannya.

"Bagaimana, Montenero? Bagaimana? Aku masih sanggup membikin keberanian buatmu. Belum terlambat, dan tak akan pernah terlambat. Aku masih bersabar bersama Pedang."

"Bagaimana?" Montenero mengusik tanya kepada dirinya sendiri.
"Terserah!"
"Bagaimana, Belati?"
"Terserah! Bagaimana dengan kamu, Montenero? Masih sanggup kau mendengar kata-kataku? Ok. Engkau masih bisa bekerja dengan cepat menanam ketiga mayat itu baik-baik. Ambillah cangkul itu. Keduklah tanah segera. Kuburkan mereka senyaman mungkin. Ah, bulan yang sebentar lagi bakalan angslup itu juga pasti merestui dan memandangimu dengan rasa puas. Barangkali, ia bakalan memberi ucapan selamat kepadamu. Kenapa engkau mesti terjebak pada rasa ragu? Ayo, aku senantiasa berada di belakangmu!"

Aih, ayam telah berkokok bersahutan. Meskipun ayam baru berkokok, keadaan di sekitar tempat pembantaian itu sudah cerah. Udara meruapkan kesegaran. Montenero terlambat. Ia belumlah membuat perhitungan-perhitungan untuk bergegas menyuruh Belati agar mau menikamkan diri ke dada Montenero yang kini telah disesaki gebalau bingung, ketololan, amarah, dan entah apa lagi, juga entah ditujukan buat siapa lagi. Montenero betul-betul lunglai, lenyap keberanian, tercipta goresan sejarah yang entah baru entah tidak. ***


Read more »»  

Di Bawah Bulan Separuh


Read more »»  

Selasa, 23 April 2013


MASMIRAH
Karya : Arthur S. Nalan
TERDENGAR GENDING JAWA LALER MENGENG SEBAGAI ILUSTRASI. MUNCUL MASMIRAH YANG TENGAH HAMIL TUA. IA TAMPAK BAHAGIA SAMBIL MEMBAWA WAYANG KULIT GATOTKACA. TERDENGAR PUISI YANG DILANTUNKAN MASMIRAH SENDIRI DALAM BENTUK TEMBANG JAWA.
Masmirah
Masmirah
Kamu hamil aneh
Kandungan tanpa bayi
Hanya ada bunyi detak jantung dan angin puyuh
Masmirah
Masmirah
Kata dokter kamu sakit
Kata Kiai kamu mendapat anugrah Gusti Allah
Masmirah
Masmirah
Biar umpatan dan fitnahan datang menghampiri
Bayi setan atau bayi siluman
Kamu tak pedulikan
Hingga bintang kemukus datang
Bayi lahir bercahaya
Tapi mati muda.
Masmirah
Masmirah
Berkat anak yang pernah kau kandung
Kamu jadi Mbok Pagedhongan
Paranormal yang terkenal
MASMIRAH
Saya sudah bilang kamu itu hanya hamil-hamilan, anak yang kamu anggap ada itu hanya karang-karangan, anak lanang yang kamu cita-citakan hanya baying-bayang wajah Raden Gatotkaca idolamu saja! Sudahlah Mirah, berhenti kau berkhayal tentang bayimu itu, kalau tidak aku akan pergi jauh.
( PADA PENONTON ) begitu kalimat pahit yang keluar dari mulut Mas Mardowo, suami kedua. Ketika ia tak kuat lagi mendengar caci maki dan umpatan para tetangga, seisi kampung, tetangga kampung yang  kebetulan bertemu dengannya di pasar dawetan. Sambil menunggu tamu yang dating, saya ingin berbagi kisah. ( DIAM MENGINGAT ) Suamiku itu mungkin lupa, kalau yang namanya ibu atau Mbok itu harus pasrah, tabah, sumarah, iman, eling dan tentu saja tawakal pada gusti allah, apapun yang terjadi dengan bayi yang kukandung waktu itu, aku tak akan pernah mendengar omongan orang Kang, biar saja mereka mengumpati aku semau mereka, jinah silumanlah, jinah memedilah, ngelmu demitlah, karena aku sudah terima nasibku, aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Gusti Allah maha adil, maha welas asih, dan tidak main-main. Jangan lupa Kang, anak adalah titipan Allah, jadi aku hanya pengasuhnya. Eh, Mas Mardowo tambah kenceng ngomongnya, begini katanya: Tapi Mirah, mimpi kamu dengan Raja Mojopahit itu apa tidak keterlaluan, kamu berhayal yang bukan-bukan, katanya dia mau menikahimu, kamu bilang sudah punya suami…itu bagus, tapi akhirnya kamu mau juga, lalu kamu hamil. Jadi hamil bukan anaku, tapi anak Raja Mojopahitmu itu. Aku gak tahan, aku mau pergi. Aku akan datang lagi kalau kamu sudah insyaf. ( DIAM ) Saya hanya melongo, saya dikiranya melakukan perbuatan jahat. Lalu suamiku pergi sambil menyambar jaket kulitnya, yang terdengar motornya nyaring lalu menghilang, dia tidak pulang, karena jadi penghuni rehabilitasi narkoba. Begitulah dia, maklum pemuda ndeso, mudah tergoda, mudah terhasut para tetangga yang tak mau tahu apa yang terjadi pada seorang perempuan seperti saya, janda beranak satu, ditinggal mati suami. Oh ya, suamiku dulu namanya Kang Kasmino, tukang sumur bor dari Blawong yang terkenal itu. Sudah banyak sumur yang dia hasilkan, airnya jernih-jernih, namun suatu ketika Kang Kasmino mengalami mimpi aneh, ketika bikin sumur bor di dekat hutan Karang Kekot. Katanya ia dimarahi Mbahurekso disana, berani-beraninya dia bikin sumur di makam cucunya yang dia kasihi, lalu dia jatuh sakit, lalu dia jadi meninggal. Tapi dokter yang memeriksa Kang Kasmino mengatakan, suamiku kena serangan jantung karena kecapaian saja, tubuhnya yang tambun tapi ototnya kuat dan karismanya itu lho, ia punya sepuluh anak buah. Oh ya, anaku perempuan, namanya hampir seperti namaku, Maswidari, sekarang ikut ibuku membantu praktek pijit bayi di Srondol. ( PADA PENONTON ) Jangan tertawa, pijit bayi saja heran, pijit bayi itu penting untuk kelancaran darah si Bayi. Ibuku biasa dipanggil Mbok Polatan yang artinya air muka, memang Mboku tak pernah masam air mukanya, selalu tersenyum, ramah, cerah secerah matahari,jarang marah, satu-satunya yang membuatku tak habis piker darinya adalah susur tembakau yang digular-gulir dimulutnya, kadang ke kiri, kadang ke kanan. Lalu air serapannya, dia ludahkan di Tempolong Kuningan. Warnanya sudah hitam, sementara Tempolong Kuningan di sampingnya sudah kenyang menampung ludahnya. Tapi itu ciri khasnya, suatu hari aku tanya Mbok apa enaknya nyusur? Dengan air muka yang tenang, ia menjawab: Nduk, kamu harus tahu, nyusur adalah tradisi putra putri Mojopahit, sejak Dara Petak dan Dara Jingga yang dari Sabrangan jadi istri Raden Wijaya, sejak saat itulah makan sirih dan nyusur jadi budaya istana. Mbok hanya melanjutkan warisan leluhur saja, Nduk.
( TERTAWA ) Jangan percaya saya, itu hanya karangan Mboku saja. Oh ya, kini anaku Maswidari berumur sepuluh tahun, wajahnya bulat seperti bapaknya, tapi air mukanya cerah seperti Mboku. Apa air muka saya juga cerah?  Waktu itu kandunganku sudah mencapai satu tahun. Kata orang-orang tua saya harus diruwat, tapi waktu aku bilang lewat surat pada Mboku, lalu balasannya dituliskan, Maswidari anaku. Dia Cuma bilang: Lakoni saja Nduk, Gusti Allah tidak main-main, hanya orang-orang yang cupet saja yang menuduhmu aneh-aneh. Begitu singkat, tapi membesarkan hatiku, karena itu saya jalani seperti ini. ( MENGAMBIL AIR KENDI LALU MEMASUKKAN BUNGA SETAMAN KE DALAM KENDI ) Aneh ya? Bagi tetangga-tetanggaku ini aneh, ini gendeng. Masmirah minumannya air kembang, yang suka kembang kan Cuma memedi. Mereka itu sembarangan, mereka bilang yang suka kembang itu cuma memedi, siapa bilang? Memedi gak ada urusannya dengan kembang, justru semua perempuan normal pasti suka kembang. Pada mulanya aku tidak sengaja minum air kembang dari kendi ini. Kebetulan aku memetik mawar dari halaman. Oh ya, rumahku kecil, tapi Mboku ,mewanti-wanti apa saja yang harus ditanam di halaman rumah, apa saja yang tidak boleh ditanam. Sewaktu aku mau menaruh setangkai bunga mawar di vas bunga diatas meja, seperti biasa ada kendi besar yang dibalur semen biar adem airnya, eh tangkai bunganya patah lalu bunganya masuk ke dalam kendi, plos, begitu saja. Mau tak ambil lagi yo gak mungkin, mosok harus memecahkan kendi demi bunga, ah sudahlah. Akhirnya aku meminum air kendi bercampur bunga mawar di dalamnya, eh malahan rasanya segar dan air kendi jadi harum. Sejak itu aku minum air kembang. Dan anehnya, tubuhku rasanya segar terus, bahkan aku merasa tenagaku berlipat ganda. Melihat begitu, para tetangga mulai bergunjing saya mengandung memedi.
( DUDUK LALU BICARA PADA PENONTON ) Oh ya, karena penasaran, saya diantar Mas Mardowo, sebelum dia kabur. Kami pergi ke Rumah Sakit Kabupaten. Saya diperiksa dokter kandungan, kalau tidak salah namanya Bob, setelah diperiksa selama kurang lebih setengah jam, dokter Bob hanya bilang: Ibu tidak mengandung, ini hanya pusaran angin yang tinggal di rahim ibu. Saya dan suami saya saling pandang, tanpa sadar bicara bareng: Hanya angin? Mosok angin? Emangnya masuk angin bias tinggal di rahim? ( DIAM ) Dokter Bob angkat tangan, lalu tiba-tiba perutku sakit. Dokter Bob malah menyarankan kami pulang, dia bilang: apa yang bisa saya bantu? Wong kandungannya cuma pusaran angin? Kami pulang, saya kecewa ama dokter itu. Kemudian saya coba ke Kiayi Mauludin di Botekan, seorang Kiayi baik hati, terkenal bias ngobatin penyakit yang aneh-aneh, saya masih diantar suamiku. Kiayi Mauludin diam tenang memandang kandunganku, mulutnya komat kamit, aku diberi air bening satu gelas. Emm, rasanya segar, saya bersemangat sekali ketika disuruh menceritakan pengalamanku sebelum mengandung yang kata orang kandungan memedi ini. Saya ceritakan bagaimana saya mimpi ketemu Raja Mojopahit, bagaimana dia mengajakku menikah, bagaimana dia mengajakku keliling kerajaan, dan akhirnya saya terbuai. Mungkin kurang kasih sayang suami, suami penyayang Kang Kasmino pendek umurnya, sementara Mas Mardowo hanya mau saya kalau saya punya uang hasil panenan. Setelah itu habis dimeja judi. ( DIAM ) setelah itu Kiayi Mauludin mendekatkan tangannya, lalu menyentuh perutku. Dia diam tapi tampak seperti sedang mengobrol, entah mengobrol dengan siapa. Setelah itu dia berkata: Nduk, Masmirah anaku, kamu mendapat anugerah Gusti Allah. Kamu mengandung, aku sudah bicara dengan bayimu. Dia bersedia lahir kr dunia, nanti kalau bintang kemukus datang. Tunggu saja dengan sabar, banyak berdoa. Jangan dengarkan omongan yang bukan-bukan. Gusti Allah punya cara yang berbeda memberikan anugerah pada umatnya. ( BERDIRI ) Sejak itu saya semakin optimis, saya percaya Kiai Mauludin tidak bohong, saya yakin mengandung. Biarlah kutunggu bintang kemukus dating. Karena itu setiap malam, aku bergadang di pekarangan rumah, tidak terasa dingin, malahan gerah dan gairah menunggu bintang kemukus datang. Hingga pada suatu malam, sampailah ucapan Kiayi jadi kenyataan, bintang kemukus datang. Saya menyaksikan dengan hati berdebar, jantung saya dagdigdug, karena tiba-tiba kandunganku bergolak, seperti meronta-ronta, ada tinju-tinju kecil memukul-mukul dinding perutku, aku segera berteriak memanggil-manggil Mas Mardowo : Mas Dowo…! Mas Dowo…! Saya mau melahirkan! Kejadiannya sangat cepat, ketika Mas Mardowo datang, saya dibantu masuk rumah lalu ditidurkan di ranjang, Mbok Sepen, dukun beranak yang kebetulan tidak jauh tinggalnya, yang awalnya menolak, karena takut kena tulah dan dia menganggap sama pada bayi yang kukandung, anak memedi. Tapi akhirnya setelah melihat aku tampak menahan sakit dan meringis-ringis sebagai tanda sebuah kelahiran, Mbok Sepen turun tangan. Malam itu, ketika bintang kemukus datang, saya melahirkan seorang bayi laki-laki, Putra Raja Mojopahit. Hanya sesaat tangisan bayi itu, seakan-akan memanggiku : terimakasih ibu. Setelah itu, bayi laki-laki yang belum kuberi nama itu meninggal. Kulitnya yang kuning, rambutnya yang hitam, senyumnya menarik hatiku. Malam itu juga bayi itu kuberi nama Sembodo yang artinya serba lengkap. Malam itu juga, ia dimandikan dibawah cahaya bintang kemukus, lalu dikafani dan dikubur di belakang rumah. Anehnya saya tidak menangis. Malam itu juga, saya bermimpi bertemu Raja Mojopahit, didampingi seorang anak persis Sembodo, tetapi berpakaian Kerajaan. Raja Mojopahit itu berkata : Masmirah, kamu wanita yang baik hati, anak kita sudah kau lahirkah dengan hati yang tulus, kau beri nama Sembodo. Anak ini memang bernama Ken Sembodo. Dan kamu, sejak sekarang orang-orang akan memanggilmu Mbok Pagedhongan, Pagedhongan artinya cerita dalang ketika wayang belum dikeluarkan, bisa juga artinya pedoman. Kamu akan menjadi penolong sesama. ( DIAM ) sejak saat itulah saya tak pernah bermimpi lagi, tapi sejak saat itu pula saya mampu mengobati tetangga yang sakit, orang-orang bicara getok tular, pada berdatangan. Saya tidak mengobati, hanya member air kendi yang diberi mawar, kesukaannya Sembodo. Sejak saat itu saya menjadi Mbok Pagedhongan yang kata orang kota, saya ini Paranormal. Padahal, saya orang normal saudara-saudara. Karena ini hanya sandiwara yang saya mainkan.
——-T A M A T——-
Di ketik ulang untuk keperluan monolog kelompok satukosongdelapan 2010.
Curex.

Read more »»  

MARSINAH MENGGUGAT – 1
Karya Ratna Sarumpaet (Satu Merah Panggung)
ALAM DILUAR ALAM KEHIDUPAN. DISEBUAH PERKUBURAN.
MARSINAH SEORANG PEREMPUAN MUDA, USIA 24 TAHUN, SEORANG BURUH KECIL DARI SEBUAH PABRIK  ARLOJI DI PORONG, JAWA TIMUR, TANGGAL 9 MEI 1993 DITEMUKAN MATI TERBUNUH., DIHUTAN JATI DI MADIUN. DARI HASIL PEMERIKSAAN  OTOPSI, DIKETAHUI KEMATIAN PEREMPUAN MALANG INI DIDAHULUI PENJARAHAN KEJI, PENGANIAYAAN DAN PEMERKOSAAN DENGAN MENGGUNAKAN BENDA TAJAM.  KASUS KEMATIAN PEREMPUAN INI KEMUDIAN RAMAI DIBICARAKAN. BANYAK HAL TERJADI. ADA KEPRIHATINAN YANG TINGGI YANG MELAHIRKAN BERBAGAI PENGHARGAAN. TAPI PADA SAAT BERSAMAAN BERBAGAI PELECEHAN  JUGA TERJADI DALAM PROSES MENGUNGKAP SIAPA PEMBUNUHNYA.  SETELAH MELALUI PROSES YANG AMAT PANJANG DAN TAK MEMBUAHKAN APA-APA, KASUS  UNTUK JANGKA WAKTU CUKUP PANJANG, DAN SEKARANG., SETELAH  MARSINAH SEBENARNYA SUDAH MENGIKHLASKAN KEMATIANNYA MENJADI KEMATIAN YANG SIA-SIA, TIBA-TIBA SAJA KASUS INI DIANGKAT KEMBALI. MENDENGAR HAL ITU MARSINAH SANGAT TERGANGGU, DAN MEMUTUSKAN UNTUK MENENGOK SEBENTAR KE ALAM KEHIDUPAN, TEPATNYA, PADA SEBUAH ACARA PELUNCURAN SEBUAH BUKU YANG DI TULIS BERDASARKAN KEMATIANNYA.   INILAH UNTUK PERTAMA KALINYA MARSINAH MENGUNJUNGI ALAM KEHIDUPAN. KAWAN-KAWAN SENASIB DI ALAM KUBUR TAMPAKNYA KEBERATAN. DAN DARI SITULAH MONOLOG INI DIMULAI.


____________________________________________________________________



ADA SUARA-SUARA MALAM. PERTUNJUKAN INI TERJADI DI SEBUAH PERKUBURAN. MARSINAH TAMPAK MERINGKUK DI SEBUAH BALE, GELISAH.
DIA TERTEKAN, RAGU AKAN KEPUTUSAN YANG DIBUATNYA.

Kalau saja dalam kesunyian mencekam yang dirasuki hantu- hantu ini aku dapat merasakan kesunyian yang sebenar-benarnya   sunyi.  Kalau saja dalam kesunyian ini aku dapat menutup telingaku dari  pekik mengerikan, raung dari rasa lapar, derita yang tak habis-habis.  Kalau saja sesaat saja aku diberi kesempatan merasakan betapa  diriku adalah milikku sendiri….

DIKEJAUHAN, TERDENGAR SUARA ORANG-ORANG YANG SEDANG MEMBACAKAN AYAT-AYAT, YANG SEMAKIN LAMA TERASA SEMAKIN DEKAT DAN SEMAKIN ENGGEMURUH. MARSINAH BANGKIT PERLAHAN, MURUNG.

Apa gerangan kata Ayahku tentang waktu yang seperti ini…. Kejam rasanya seorang diri, diliputi amarah dan rasa benci. Tersekap rasa takut yang tak putus-putus menghimpit….. Ketakutan yang tak bisa diapa-apakan….. Tidak bisa bunuh, atau dilawan…..

MARSINAH SEPERTI MENDENGAR SUARA-SUARA DARI MASA LALUNYA, SUARA-SUARA DERAP SEPATU, YANG MEMBUATNYA GUSAR.

Suara-suara itu…. Dia datang lagi…. Seperti derap kaki seribu serigala menggetar bumi….
Mereka datang menghadang kedamaiku…..  mereka mengikuti terus….. Bahkan sampai ke liang kubur ini mereka mengikutiku terus….

Kalau betul maut adalah tempat menemu kedamaian….. Kenapa aku masih seperti ini?
Terhimpit ditengah pertarungan-pertarrungan lama….   Kenapa pedih dari luka lamaku masih terasa menggerogoti hati dan   perasaanku…… Kenapa amarah dan kecewaku masih seperti kobaran api  membakarku ?

TERDENGAR SUARA SESEORANG NEMBANG, LIRIH….. TEMBANG ITU SESAAT SEOLAH MENGENDURKAN KETEGANGAN MARSINAH. DIA BICARA, LIRIH.

Dengan berbagai cara nek Poeirah, nenekku,   mengajarkan kepadaku tentang  kepasrahan…..  Dia mengajarkan kepadaku bagaimana menjadi anak yang menerima dan pasrah……  Pasrah itu yang kemudian menjadi kekuatanku…..  Yang membuatku selalu tersenyum menghadapi kepahitan  yang bagaimanapun.  Kemiskinan keluargaku yang melilit…… Pendidikanku yang harus terputus ditengah jalan…..

Perempuan ini jugalah yang mengajarkan kepadaku betapa hidup membutuhkan kegigihan……   Tapi kegigihan seperti apa yang bisa kuberikan sekarang……   Pada saat mana aku sudah menjadi arwah seperti ini, dan mereka masih mengikutiku terus ?

Sulit mungkin membayangkan bagaimana dulu kemiskinan melilit keluargaku…… Bagaimana setiap pagi dan sore hari aku harus berkeliling  menjajakan kue bikinan Nenekku, demi seratus duaratus perak. Aku nyaris tak pernah bermain dengan  anak-anak sebayaku. Kebahagiaan masa kecilku hilang…… Tapi aku ikhlas…… Karena dengan uang itu aku bisa menyewa sebuah buku  dan membacanya sepuas- puasnya.

Berupaya meningkatkan pendidikanku yang pas-pasan….. Merindukan kehidupan yang lebih layak…. Berlebihankah itu ? Memiliki cita-cita….. Memiliki harapan-harapan….. Berlebihankah itu ?

Lalu kenapa cita-citalah yang akhirnya memperkenalkanku pada arti kemiskinan   yang sesungguhnya. Kenapa harapan-harapanku justru menyeretku berhadapan dengan ketidak berdayaan yang tak terelakan ?

DERAP SEPATU DARI MASA LALU ITU KEMBALI MENGGEMURUH MEMBUAT MARSINAH KEMBALI TEGANG.

Itulah kali teakhir aku datang ke Nganjuk. Ketika Nenekku, tidak seperti biasanya, berkeras menahanku. Dia bicara banyak tentang firasat. Aku tahu dia membaca kegelisahanku…… Tapi aku terlalu gusar untuk menggubris nasehat-nasehatnya….. Dan sampai akhirnya aku meningggalkan Nganjuk, aku tidak pernah menjelaskan kepadanya, kenapa saat itu Sidoarjo    menjadi begitu penting untukku…..

MARSINAH MENDADAK SEDIH LUAR BIASA.

Apa yang harus kukatakan ? Apa yang dimengerti perempuan tua itu tentang hak bicara ?   Tentang pentingnya memperjuangkan hak? Dia hanya mengerti turun ke sawah sebelum matahari terbit, dan meninggalkannya setelah matahari terbenam, karena perut tiga orang cucu     yang diasuhnya harus selalu terisi.

MARSINAH MULAI GUSAR HALUS, SUARA-SUARA DI MASA LALUNYA DULU  MULAI MENGIANG DITELINGANYA.

Barangkali kalian menganggap apa yang kulakukan ini tidak masuk akal….. Barangkali kalian menganggapnya perbuatan sinting…. Tapi aku harus pergi…… Dengan atau tanpa kalian, aku akan pergi…..

Setelah empat tahun lebih aku merasa mati sia-sia, mereka tiba-tiba kembali mengungkit-ungkit kematianku. Kematian  Marsinah murni kriminal. Kematian Marsinah tidak ada hubungannya dengan  pemogokan buruh. Kematian Marsinah berlatar belakang balas dendam.Dan hari ini, sebuah buku yang ditulis atas kematianku, diluncurkan. Gila !

Aku ? siapa aku ? Seorang perempuan miskin yang dimasa hidupnya tidak punya kemampuan membeli sebuah bukupun untuk dibaca atau dibanggakan…..

Apa yang mereka inginkan dariku? Mereka menggali tulang-tulangku. Dua kali mereka membongkar kuburanku, juga untuk sia-sia, terkontaminasi….. Bangsat!
Ini mungkin bagian yang paling aku benci. Mereka selalu menganggap semua orang bodoh.  Mereka selalu menganggap semua orang bisa dibodohi.

HENING LAGI…..

Tapi itulah mungkin betapa aku, kita-kita ini,  sesungguhnya adalah orang-orang pilihan.   Orang-orang yang dipilih untuk sebuah rencana besar, dan sekaranglah saatnya. Pada saat kita sudah tidak eksist.   Pada saat kita sudah tidak mungkin dibunuh  karena kita toh sudah terbunuh.   Mereka boleh dongkol atau mengamuk sekalian  mendengar apa yang kita ucapkan. Tapi menggebuk kita ?  Masa arwah mau digebuk juga ?

SUARA -SUARA MASA LALU ITU KEMBALI TERDENGAR. BEBERAPA SAAT
MARSINAH TAMPAK TEGANG DAN TERGANGGU, TAPI DIA MELAWANNYA.
MELANGKAH SATU-SATU, IA MENGADAHKAN MUKANYA  BICARA PADA
SUARA-SUARA YANG MENGGANGGUNYA ITU.

Suara-suara itu….  Mereka mengikutiku terus….. Aku tahu mereka akan menggangguku lagi.   Aku tahu mereka akan terus menggangguku. Aku tidak takut dan aku tidak akan berhenti…..  Aku akan berdiri ditengah peluncuran buku itu, dan aku akan menghadapi mereka disana.

Algojo-algojoku….. Orang-orang yang dulu begitu bernafsu menghabisi hidupku. Berbaur dengan mereka yang dengan gigih telah berusaha menegakan keadilan atas kematianku. Lalu aku akan menikmati bagaimana mereka satu demi satu berpaling menghindari tatapanku, atau menundukkan kepala; atau lari lintang pukang di kejar dosanya sendiri. Dan sebuah peluncuran buku yang lazimnya dipenuhi tawa, tepuk tangan dan sanjungan itu akan berubah menjadi sebuah  upacara mencekam, Marsinah, muncul menggugat’ Belati berlumur darah itu muncul didepan matamu,  setelah sekian lama kau mengira, kau telah berhasil  melenyapkannya dari tuntutan keadilan.

KETIKA SUARA-SUARA DI MASA LALU ITU MEREDA, MARSINAH JUSTRU
TAMPAK SEMAKIN MURUNG DAN GUSAR. IA MENJATUHKAN TUBUHNYA
DILANTAI, LETUH. IA BICARA SEPERTI PADA DIRINYA SENDIRI.

Aku melihat begitu banyak tangan berlumuran darah…..Aku melihat bagaimana keserakahan boleh terus berlangsung, para pemilik modal boleh terus mengeruk keuntungan, para Manager dan para pemegang kekuasaan boleh terus-menerus bercengkerama diatas setiap tetes keringatku.  Tapi seorang buruh kecil seperti diriku berani membuka mulutnya menuntut kenaikan upah ?   Nyawanya akan terenggut.

Dan sekarang lihat bagaimana mereka menjadikan kematianku bagai jembatan emas demi kemanusiaan; Demi ditegakkannya keadilan; Demi perbaikan nasib buruh.

MARSINAH TERTAWA, GETIR.

Memperbaiki nasib buruh…. Dari 1500 menjadi 1700, dari 1700 menjadi 1900…. Satu gelas teh manis dipagi hari, satu mangkok bakso disiang hari,  lalu satu mangkok lainnya di malam hari.   Itu takaran mereka tentang kebahagiaan seorang buruh, yang dituntut untuk memberikan seluruh tenaga dan pikirannya, tanpa boleh mengeluh.

Mereka bermain diantara angka-angka. Mereka tidak pernah mempertimbangkan apakah sejumlah angka mampu memanusiakan seorang buruh. Dan mereka menepuk dada karena itu.

Memperbaiki nasib buruh…. Mana mungkin kematian seorang buruh kecil seperti diriku mampu   memanusiakan buruh di tengah sebuah bangsa yang sakit ?

SUARA DARI MASA LALU ITU   KEMBALI MENGHENTAK, MENGEJUTKAN MARSINAH. TAPI DIA TIDAK TAKUT.

Aku tidak takut. Aku tidak takut. (KE KAWAN-KAWANNYA) Aku tidak takut. (KE SUARA-SUARA) Aku bisa mempertanggung jawabkan semua itu….. Masa hidupku yang terhempas-hempas yang terus – menerus dihantui rasa takut bisa mempertanggung jawabkan semua itu.   Kematianku yang menyakitkan. Tulang-tulangku yang remuk; darahku yang berceceran membasahi tumit kalian ……. Bisa mempertanggung jawabkan semua itu.

Bangsa yang bagaimana yang kalian harapkan aku menyebutnya? Aku mengais-ngais mencari sesuap nasi disana. Sambil terus-menerus tersandung-sandung, dikejar-kejar  gertakan dan ancaman-ancaman kalian.

Aku disiksa disana….. Aku diperkosa disana, dibunuh dengan keji….. Begitu kalian telah mematikanku.   Begitu kalian merenggut seluruh hak hidupku…… Bangsa yang bagaimana kalian pikir aku menyebutnya? Bangsa yang bagaimana?

KETIKA SUARA DARI MASA LALU  ITU MENGHILANG, MARSINAH LAGI-
LAGI GUSAR. IA DUDUK SAMBIL MEMELUK KEDUA LUTUTNYA, SEPERTI
MERINGKUK.

Apa sebenarnya yang sedang  kulakukan ini ? Aku kembali mengorek luka itu…. Tuhan, ini menyakitkan. Tidak ! Ini terlalu menyakitkan. Aku tidak akan melakukan ini. Tidak ! Persetan dengan sebuah buku yang terbit. Persetan dengan calon-calon korban yang sekarang ini mungkin   telah berdiri ditepi liang lahat dan segera akan menelannya. Aku arwah, dengan air mata yang tak habis-habis…. Arwah yang terus menerus gusar digelayuti beban lama….. Apa yang bisa kulakukan ? Tidak !

MARSINAH KEMBALI MENENGADAHKAN KEPALA, SEPERTI BICARA PADA
SUARA-SUARA ITU.

Sampaikan pada mereka, Marsinah tidak akan datang! Marsinah yang lemah….. Yang lemah lembut…..  Perempuan miskin yang tak berdaya dan tidak tahu apa-apa….. Tidak! Dia tidak akan datang. Dia akan menunggu hingga peradilan agung itu tiba, dan dia akan berdiri disana sebagai saksi utamanya.

SUASANA TIBA-TIBA BERUBAH, CAHAYA MENJADI MERUANG.
MARSINAH BANGKIT HERAN.
MARSINAH BERPUTAR MENGAMATI SEKELILINGNYA.

Aku disini sekarang….. Sebuah ruangan yang megah….. Dan disini, sekelompok manusia berkumpul…..

MARSINAH SURUT KE BALE, MENGAMBIL SELENDANGNYA.

Aku akan menghadapi ini dengan sebaik-baiknya…..Aku akan membuat mereka terperangah.   Aku akan mengecohkan mereka dari setiap sudut yang tidak mereka duga sama sekali.

MARSINAH BERGERAK KE HADAPAN HADIRIN, SAMBIL MENATAP SEKELILING.

Aku disini sekarang…..

TATAPAN MARSINAH TERHENTI PADA SATU KELOMPOK HADIRIN.

Dan kalian…..  Aku mengenali betul siapa kalian….. Sebuah generasi, yang seharusnya ceria dan merdeka, duduk disini dengan tatapan mengandung duka……

MARSINAH BERGERAK KEARAH KELOMPOK ITU.

Demi Tuhan. Bagiku, kalian adalah fakta paling menyakitkan. Kemarahan kalian itu adalah kemarahanku dulu. Harapan dan cita-cita kalian itu adalah harapan dan cita-citaku dulu. Cita-cita yang terlalu sederhana sebenarnya untuk mengorbankan satu kehidupan.

Satu saat, ditengah sebuah arak-arakan, aku menyaksikan kalian menengadahkan muka ke langit, marah….. Dengan mulut berbuih, kalian memekik menuntut perubahan Setiap kali aku melihat kalian meronta seperti itu, perasaanku terguncang. Aku ingin sekali berkata, “Jangan!”

Aku adalah korban dari kemarahan seperti itu. Dan tidak satupun dari kita bisa mengelak, kalau kematianku adalah lambang kematian kalian. Lambang kematian sebuah generasi. Kematian dari setiap cita-cita yang merindukan perubahan.

MARSINAH BERHENTI BEBERAPA SAAT  SEPERTI SEDANG MENJERNIHKAN PIKIRANNYA. IA LALU MENATAP KELANGIT, DAN MULAI BICARA.

Kalian mungkin tidak akan memahami ini …… Tapi aku ya. Aku memahaminya betul.  Didalam matiku aku telah melakukan perjalanan mundur. Sebuah penjelajahan berharga yang kemudian membuka mataku tentang berbagai hal.

Dari situ aku jadi tahu banyak….. Aku jadi tahu kalau dunia dimana dulu aku dilahirkan;   Dunia yang kemudian dengan dingin telah merenggut hak hidupku; adalah dunia yang sakit, sakit sesakit-sakitnya. Dunia dimana kebenaran-kebenaran dibungkus,  dimasukkan ke dalam peti lalu dikubur dalam-dalam……

Didunia seperti itulah aku dibungkam. Tidak cukup hanya dengan gertakan,  dengan penganiayaan dan pemerkosaan yang dengan  membabi buta telah mereka lakukan. Untuk yakin mulutku tidak lagi akan terbuka,  mereka mencabut nyawaku sekaligus.

Sekarang, apa yang harus kukatakan pada kalian? Aku tahu menolak adalah hak kalian. Hak paling azasi dari setiap umat. Tapi lihat, pelajaran apa sekarang yang kalian peroleh  dari apa yang aku alami?

MARSINAH MENGAMBIL SEBUAH  KORAN, LALU MEMBUKA-BUKANYA,
SESAAT.

Kalian pasti tidak bisa membayangkan seberapa banyak  kebenaran yang aku ketahui, yang seharusnya kalian ketahui  karena sebagai warga masyarakat kalian berhak untuk itu. Aku tidak membaca apa-apa disini. Berita yang kalian dapatkan hanya berita yang boleh kalian dapatkan,   bukan yang berhak kalian dapatkan.

Itu sebab kalian baru heboh setelah kebakaran hutan merambat  kemana-mana dan mulai menelan korban. Sementara aku…..

Aku sudah mengetahui semua itu lama sebelum api pertama disulut. Aku tahu siapa yang menyulut api, dan aku tahu persis kenapa. Semua kalian heboh membicarakan kebakaran hutan.  Semua kalian marah dan resah….. Koran-koran, seminar-seminar, pertunjukan-pertunjukan kesenian meradang membicarakan kebakaran hutan,  seolah kebakaran hutan itu bencana yang datang  begitu saja dari langit dan hanya mungkin ditangiskan pada Tuhan. Kehebohan yang tak bertenaga dan tak punya gigi…..

MARSINAH MEMBACA KORAN

Pemulihan kondisi moneter akan terus diupayakan.  Jangan aku dikultuskan….. Tapi bukan berarti aku menolak untuk dikultuskan….. Namun, renungkanlah….. Waou….

MARSINAH MELEMPAR KORAN ITU KASAR. TAPI TIBA-TIBA JADI TERPERANJAT ATAS ULAHNYA.

Sebentar! Apakah diruangan ini ada intel atau aparat? Alhamdulillah….. Dan tolong dicatat baik-baik. Marsinah sebenarnya tidak sungguh-sungguh ingin menggugat. Dia hanya takjub…..   Rakyat yang mana yang sempat memikirkan pemulihan kondisi  moneter? Apa yang mampu mereka pikirkan dengan perut melilit? Mereka terseok-seok terancam kelaparan. Pikiran dan perasaan meraka tercekam mendengar ratusan orang mati karena kelaparan justru ditempatkan dimana uang sedang terus ditambang.

Didunia seperti itulah kalian dilahirkan. Dunia dimana serigala-serigala berkeliaran mengejar nama dan kemuliaan, dan untuk itu kebodohan dan kelaparan kalian penting terus dipertahankan.   Dunia dimana kemiskinan kalian dijadikan aset penting, demi lahirnya seorang Pahlawan,  Pahlawan Pengentasan Kemiskinan.

Didunia seperti itulah kalian tumbuh sebagai generasi penerus. Dunia dimana diatas pundak kalian masa depan sebuah bangsa dipercayakan, sambil pada saat yang sama, kedalam rongga hidung kalian serbuk yang mematikan akal sehat, terus menerus ditiupkan. Generasi tumbal…..
Generasi yang malang….

MARSINAH MEMBUANG PANDANGAN KE ARAH LAIN.

Lalu kalian…. Entah apa yang aku katakan pada kalian? Terus terang, berhadapan dengan kalian adalah bagian yang paling aku takutkan. Lengan kananku biru kejang-kejang dicengkram dengan kasar oleh seorang satpam yang mencoba menjaili izin haidku dengan merogoh kasar celana dalamku.
Berminggu-minggu si Kuneng, buruh dibawah usia itu dibelenggu rasa takut ketika satpam lain dengan kasar meremas susunya yang belum tumbuh, yang masih melekat ditulang rusuknya.   Satpam-satpam itu sama melaratnya dengan kami. Sama menderitanya. Hanya karena mereka laki-laki dan punya pentungan….. Mereka merasa berhak ikut-ikutan melukai kami…… Ikut-ikutan memperlakukan kami bagai bulan-bulanan. Tapi bukan Subiyanto.

Bagi kami Subiyanto adalah kekecualian. Subiyantolah yang membawa Kuneng ke ahli jiwa, ketika perempuan itu satu saat betul-betul terguncang. Dia mencari pinjaman kesana kemari untuk itu. Bagi kami Subiyanto selalu menjadi pelindung…. Dan dia dituduh sebagai salah satu pembunuhku ? Gila….. Lalat hinggap dimakan malamnya dia tidak akan mengusirnya.   Itulah Subiyanto.

MARSINAH MEMBUANG PANDANGANNYA, JAUH. SINIS.

Aku menyaksikan bagaimana Lembaga Peradilan berubah menjadi lembaga penganiayaan. Aku menyaksikan bagaimana saksi-saksi utama dibungkam, dilenyapkan….. Menyaksikan saksi-saksi palsu berdiri seperti boneka, remuk dan ketakutan…. Dan Subiyanto ada disana….. Lelaki berhati lembut itu disiksa disana. Dianiaya, ditelanjangi, disetrum kemaluannya, dan dipaksa mengakui telah ikut membunuhku. Mereka menciptakan cerita-cerita bohong; Mereka memfitnah; Mereka menghakimi orang-orang yang tidak pernah ada.

Kalian semua tahu itu bohong. Kalian tahu persis itu rekayasa. Aku tahu kalian akhirnya berhasil membebaskan Subiyanto dari rekayasa sinting itu. Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana mungkin nyawaku lepas begitu saja dari tubuhku tanpa seorang pelaku?

Apa yang akan kalian katakan tentang itu? Bahwa Hukum itu gagap? Bahwa Lembaga Peradilan itu gagap? Bahwa diatas meja, dimana mestinya ditegakkan disitulah, uang, darah dan peluru lebih dahulu saling melumuri? Demi Tuhan. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana kelak   kalian akan mempertanggungjawabkan itu pada anak cucu kalian….. Lembaga Peradilan adalah harapan terakhir bagi  orang-orang kecil seperti kami. Satu-satunya tempat yang seharusnya memberikan pada kami perlindungan.

Tapi apa yang kami dapatkan? Apa yang kami dapatkan?

MARSINAH TIBA-TIBA BERHENTI, MENGALIHKAN TATAPANNYA KE ARAH
LAIN.

Nanti dulu. Aku seperti menyaksikan sebuah pemandangan bagus.

MARSINAH MENGAMBIL TEROPONG  DARI MEJA PERLENGKAPANNYA, UNTUK BISA MELIHAT DENGAN JELAS.

Bukankah bapak yang duduk di pojok itu adalah  seorang anggota DPR? Atau….. Jangan-jangan, beliau ini adalah anggota DPR dari Partai terlarang itu? Hm…. Lagi-lagi Kuneng…. Lagi-lagi perempuan malang itu mengingatkanku betapa menyakitkannya menjadi orang tak berdaya.   Satu tahun Kuneng berhasil menunda pengosongan
kampung Ijo itu. Kampung dimana Orangtuanya memiliki sepetak kecil tanah yang dibeli dengan cara cicilan.

Bulak-balik Kuneng ke kantor DPR. Dia yakin betul para wakil Rakyat itu mampu membelanya   memperoleh ganti rugi yang lebih layak.
 Selesai
Read more »»