Daftar Isi

Jumat, 16 November 2012


Lakon
MATAHARI DI SEBUAH JALAN KECIL
Karya Arifin C. Noor



SEBENTAR LAGI BERKAS-BERKAS DI LANGIT AKAN BUYAR DAN MATAHARI AKAN MEMULAI MEMANCARKAN SINARNYA YANG PUTIH, TERANG DAN PANAS. JALAN ITUPUN AKAN MULAI HIDUP, BERNAFAS DAN DEBU-DEBU AKAN SEGERA BERTERBANGAN MENGOTORI UDARA.
JALAN ITU BUKAN JALAN KELAS SATU. JALAN ITU JALAN KECIL YANG HANYA DILALUI KENDARAAN-KENDARAAN DALAM JUMLAH KECIL. TETAPI SEBUAH PABRIK ES YANG TIDAK KECIL BERDIRI DI PINGGIRNYA DAN PABRIK ITU MEMILIKI GEDUNG YANG SANGAT TUA. DI DEPAN GEDUNG ITULAH PARA PEKERJA PABRIK MENGERUMUNI SIMBOK YANG BERJUALAN PECEL DI HALAMAN.
SEORANG LAKI-LAKI YANG SEJAK MALAM TERBARING, TIDUR DI AMBANG PINTU YANG TERPALANG TAK DIPAKAI ITU, BANGUN DAN MENGUAP SETELAH SEORANG YANG BERTUBUH PENDEK MEMBANGUNKANNYA. LAKI-LAKI ITU ADALAH PENJAGA MALAM.

PENJAGA MALAM
Uuuuuh, gara-gara pencuri, aku jadi kesiangan.

SI PENDEK
 
Tadi malam ada pencuri?

PENJAGA MALAM
Di sana, di ujung jalan itu! (menunjuk)

SI PENDEK
 
Tertangkap?

PENJAGA MALAM
Dia licik seperti belut. (menggeliat lalu pergi)

SI PENDEK (duduk lalu membaca koran)

SEORANG PEMUDA (ANAK LAKI-LAKI) MEMBAWA BAKI DI ATAS KEPALANYA LEWAT. IA MENJAJAKAN KUE DONAT DAN ONDE-ONDE. SUARANYA NYARING SEKALI. TAK ADA ORANG MENGACUHKANNYA. BEGITU IA LENYAP SEORANG PEMUDA LEWAT PULA YANG BERJALAN DENGAN PERLAHAN, BERBAJU LURIK KUMAL, SEPATU KAIN YANG SUDAH RUSAK DAN BURUK, WAJAHNYA PUCAT. SEBENTAR IA MEMPERHATIKAN ORANG-ORANG YANG TENGAH MAKAN LALU IA PERGI DAN IAPUN TAK DIPERHATIKAN ORANG.

GEMURUH MESIN YANG TAK PERNAH BERHENTI ITU, YANG ABADI ITU, MAKIN LAMA MAKIN MENGENDUR DAYA BUNYINYA SEBAB LALU LINTAS DI JALAN ITU MULAI BERGERAK DAN ORANG-ORANG SEMAKIN BANYAK DI HALAMAN PABRIK ITU. SIMBOKPUN MAKIN SIBUK MELAYANI MEREKA. LIHATLAH!

SI TUA (menerima pecel)
 
Sedikit sekali.

SIMBOK (tak menghiraukan dan terus melayani yang lain)

SI PECI
Ya, sedikit sekali (menyuapi mulutnya)

SI TUA
Tempe lima rupiah sekarang.

SI KACAMATA
Beras mahal (membuang cekodongnya) kemarin istriku mengeluh.

SI PECI
Semua perempuan ya ngeluh.

SI KURUS
 
Semua orang pengeluh.

SI KACAMATA
Kemarin sore istriku berbelanja ke warung nyonya pungut. Pulang-pulang ia menghempaskan nafasnya yang kesal……. Harga beras naik lagi, katanya.

SI PECI
Apa yang tidak naik?

SI TUA
Semua naik.

SI KURUS
Gaji kita tidak naik.

SI KACAMATA
Anak saya yang tertua tidak naik kelas.

SI TUA
Uang seperti tidak ada harganya sekarang.

SI KURUS
Tidak seperti…. Ah memang tak ada harganya.

SI TUA (mengangguk-angguk)

SI PECI
Ya.

SI KACAMATA
Ya.

SI PENDEK
Menurut saya (menurunkan koran yang sejak tadi menutupi wajahnya. Sebentar ia berfikir sementara kawannya bersiap mendengar cakapnya). Menurut saya, sangat tidak baik kalau kita tak henti-hentinya mengeluh sementara masalah yang lebih penting pada waktu ini sedang gawat menantang kita. Dalam seruan serikat kerja kitapun telah dinyatakan demi menghadapi revolusi dan soal-soal lainnya yang menyangkut negara kita harus turut aktif dan bersiap siaga untuk segala apa saja dan yang terpenting tentu saja perhatian kita.

SI TUA (menggaruk-garuk)

SI PENDEK
Ya, baru saja saya baca dari koran….nich, korannya…. Bahwa kita harus waspada terhadap anasir-anasir penjajah, kolonialisme. Kita harus hati-hati dengan mulut yang manis dan licin itu. (tiba-tiba batuk dan keselek)…..tempe mahal tidak enak rasanya… (meneruskan yang semula) beras yang mahal hanya soal yang tidak lama.

SI PECI
Ya.

SI KACAMATA
Ya.

SI PENDEK
Ya.

SI TUA
Dulu (batuk-batuk), dulu saya hanya membutuhkan uang sepeser untuk sebungkus nasi.

SI PECI
Dulu?

SI TUA
Ketika jaman normal.

SI KURUS
Jaman Belanda.

SI TUA
Ya, jaman Belanda. Untuk sehelai kemeja saya hanya membutuhkan uang sehelai rupiah.

SI KURUS
Tapi untuk apa kita melamun, untuk apa kita mengungkap-ungkap yang dulu?

SI PENDEK (makin berselera)
 
Ya, untuk apa? Untuk apa kita melamun? Untuk apa kita mengkhayal? Apakah dulu bangsa kita ada yang mengendarai mobil? Sepedapun hanya satu dua orang saja yang memilikinya. Kalaupun dulu ada itulah mereka para bangsawan, para priyayi dan para amtenar yang hanya mementingkan perut sendiri saja. Sekarang lihatlah ke jalan raya.

SI PENDEK
…… Lihatlah Kemdal Permai, stanplat. Pemuda-pemuda kita berkeliaran dengan sepeda motor. Kau punya sepeda? Ya, kita bisa mendengarkan lagu-lagu dangdut dari radio. Ya?

SI KACAMATA
Ya.

SI PENDEK
Ya, tidak?

SI KURUS
Ya.

SI PENDEK
Ya, tidak?

SI TUA (mengangguk-angguk)

SI PENDEK
Sebab itu kita tidak perlu mengeluh, apalagi melamun dan mengkhayal, sekarang yang penting kita bekerja, bekerja yang keras.

SI KACAMATA
Saya juga berpikir begitu.

SI PENDEK
Kita bekerja dan bekerja keras untuk anak-anak kita kelak.

SI KACAMATA
Saya ingin anak saya memiiki yamaha bebek.

SI PENDEK
Asal giat bekerja kita bebas berharap apa saja.

SI KURUS
Tapi kalau masih ada korupsi? Anak kita akan tetap hanya kebagian debu-debunya saja dari motor yang lewat di jalan raya.

SI PECI
Ya.

SI KACAMATA
Ya.

SI TUA
Ya, sekarang kejahatan merajalela.

SI KURUS
Semua orang bagai diajar mencuri dan menipu.

SI KACAMATA
semua orang.

SI KURUS
Uang serikat kerja kitapun pernah ada yang menggerogoti (melirik kepada si pendek)

SI PECI
Ya, setahun yang lalu. (melirik si pendek)

SI KACAMATA
Ya, dan sampai sekarang belum tertangkap tuyulnya. (melirik pad si pendek)

SI TUA (mengangguk-angguk)

PEMUDA muncul lagi, mula-mula ragu lalu ia turut bergerombol dan makan pecel.

SI PECI
Ya, setahun yang lalu (melirik si pendek) Sekarang kita sukar mempercayai orang.

SI KURUS
Bahkan kita takkan percaya lagi pada kucing. Kucing sekarang takut pad tikus dan tikus sekarang besar-besar, malah ada yang lebih besar daripada kucing, dan adapula tikus yang panjangnya satu setengah meter dan empat puluh kilogram beratnya. Tapi yang lebih pahit kalau kucing jadi tikus alias kucing sendiri sama kurang ajarnya dengan tikus.

SI PECI
Ya, sekarang kucing malas-malas dan kurang ajar.

SI KACAMATA
Dunia penuh tikus sekarang.

SI KURUS
Dan tikus-tikus jaman sekarang beraqni berkeliaran di depan mata pada siang hari bolong.

SI TUA
Omong-omong perkara tikus, (batuk-batuk) sekarang ada juga orang yang makan tikus.

SI KACAMATA
Bukan tikus, cindel. Orang Tionghoa di tempat saya biasa menelan cindel hidup-hidup dengan kecap, mungkin untuk obat.

SI TUA
Bukan cindel, tikus-tikus, Wirog. Petani-petani sudah sangat jengkel karena diganggu sawahnya, sehingga mereka dengan geram dan jengkel lalu memakan tikus-tikus sebagai lauk, daripada mubazir. Tapi ada juga yang memakan tikus itu sebab……….lapar.

SI PECI
Ya, sekarang sudah hampir umum di kampung-kampung, bahkan ada juga anjuran dari pemerintah setempat.

SI KURUS (pada si tua)
 
Enak?

SI TUA
Ha?

SI KURUS
Sedap?

SI TUA
Saya tidak turut makan (tersenyum).

SEMUA TERTAWA. LONCENG BEKERJA BERDENTANG. MEREKA MASING-MASING MENGHITUNG DAN MENYERAHKAN UANG PADA SIMBOK KEMUDIAN PERGI BEKERJA, LEWAT JALAN SAMPING. YANG TERAKHIR ADALAH SI PENDEK.

SI PENDEK
Berapa Mbok?

SIMBOK
Apa?

SI PENDEK
Nasi pecel dua, tempe satu, tahu satu, rempeyek satu.

SIMBOK
Tujuh puluh lima.

SI PENDEK
 
Bon. (pergi)

PEMUDA MENGHABISKAN MAKANNYA DENGAN LAHAP SEKALI, SETELAH MEMBUANG CEKODONGNYA IA MINTA AIR YANG BIASA DISEDIAKAN OLEH PENJUAL PECEL ITU. IA BERDIRI, MEROGOH SAKU CELANA. IA CEMAS, SAKU BAJU DIROGOHNYA. IA MAKIN CEMAS, SIMBOK MEMPERHATIKAN DENGAN BIASA.

SIMBOK
Ada yang hilang?

PEMUDA
Barangkali tidak.

SIMBOK
Apa?

PEMUDA
Dompet.

SIMBOK
Dompet? Ada uang di dalamnya?

PEMUDA
Juga surat keterangan penduduk. Tapi (mengingat-ingat) barangkali saya lupa dan tidak hilang. Tadi malam saya mengenakan baju hijau dengan celana lurik hijau. Yang mungkin dompet itu dalam saku baju hijau….. Berapa Mbok?

SIMBOK
Nasi dua.

PEMUDA
Tempe dua, tahu tiga.

SIMBOK
Delapan puluh.

PEMUDA (seraya hendak pergi)
 
Sebentar saya pulang mengambil uang. Dompet saya dalam saku baju hijau barangkali.

SIMBOK
Nanti dulu.

PEMUDA
Tak akan lebih dari sepuluh menit. Segera saya kembali.

SIMBOK
Tapi sebentar lagi saya mau pergi dari sini.

PEMUDA
Tapi dompetku ketinggalan di rumah. Sebentar rumahku tidak jauh dari sini.

SIMBOK
Ya, tapi sebentar lagi saya akan pergi dari sini.

PEMUDA
Sebentar (akan pergi)

SIMBOK (berdiri dan berseru)
Hei, nanti dulu. Bayarlah baru kau boleh pergi.

PEMUDA
Jangan berteriak. Tentu saja saya akan membayar. Tapi saya mesti mengambil uang dulu di rumah. Mbok tidak percaya?

SIMBOK (diam)

PEMUDA
Tunggulah sebentar, saya orang kampung sini juga.

TERDENGAR ADA SUARA
Ada apa Mbok?

SI KURUS
Ada apa Mbok? (di jendela)

SIMBOK
Dia belum bayar.

PEMUDA
Tunggulah lima menit (pergi).

SI KURUS
Hai, dik! Tunggu!

PEMUDA
Saya akan mengambil uang. Saya belum membayar makanan saya, sebab itu saya akan pulang mengambil uang saya. Dompet saya ketinggalan.

SI KURUS
Ya, tapi jangan main minggat-minggatan.

PEMUDA
Saya tidak berniat lari atau minggat, lagipula saya sudah bilang sama si Mbok.

SI KURUS
Simbok mengijinkan?

PEMUDA
Saya Cuma sebentar.

SI KURUS
Simbok memperbolehkan engkau pergi?

PEMUDA (diam)

SI KURUS
Simbok keberatan engkau meninggalkan tempat ini sebelum engkau membayar makananmu.

PEMUDA
Bagaimana dapat saya bayar? Dompet saya ketinggalan.

SI KURUS
Ya, tapi jangan main minggat-minggatan.

PEMUDA
Saya tidak berniat minggat atau lari.

SI KURUS (lenyap dari jendela, muncul dari pintu samping)
 
Dimana rumahmu?

PEMUDA
Dekat.

SI KURUS
Dekat di mana?

PEMUDA
Di kampung ini.

SI KURUS
Ha? (pada Simbok) Mbok, kenal pada anak itu?

SIMBOK
Seumur hidup baru pagi ini saya menjumpainya. Tapi peristiwa semacam ini kerap kualami. Dulu saya percaya ada orang yang betul-betul ketinggalan uangnya tetapi orang-orang sebangsa itu tidak pernah kembali. Seminggu yang lalu saya tertipu dua puluh rupiah. Tampangnya gagah dan meyakinkan sekali, waktu itu ia bilang uangnya tertinggal di rumah. Tapi sampai hari ini pecel yang dimakannya belum dibayar. Benar dua puluh itu tidak banyak, tetapi dua puluh kali sepuluh adalah tidak sedikit. Sekarang saya sudah kapok dan cukup pengalaman.

SI KURUS
Baru sekarang ini kau jajan pada simbok, bukan?

PEMUDA
Ya.

SI KURUS
Lalu kenapa kau berani-berani jajan padahal kamu tahu tak beruang.

PEMUDA
Saya beruang.

SI KURUS
Bayarlah sekarang.

PEMUDA
Uang saya ketinggalan.

SI KURUS
Kenapa kau berani jajan.

PEMUDA
Saya tidak tahu kalau uang saya ketinggalan di saku baju hijau. Dan sekarang saya akan pergi mengambil uang itu.

MUNCUL DI JENDELA, SI PECI

SI PECI
Ada apa dia?

SI KURUS
Makan tidak bayar.

SI PECI
Siapa?

SI KURUS
Pemuda ini.

SI PECI
Dia? (lenyap dari jendela muncul dari pintu)

SI KURUS
Kau bayarlah sebelum orang-orang ramai datang ke sini.

SI PECI
Ya, bayarlah. (pada simbok) Berapa dia habis?

SI KURUS
Berapa Mbok?

SIMBOK
Delapan puluh.

DUA ORANG ANAK MASUK, MEREKA MENONTON

SI KURUS
Kenapa jadi diam?

SI PECI
Kenapa?

PEMUDA
Saya tidak berniat minggat.

SI KURUS
Masih muda sudah belajar tidak jujur. Masih muda sudah belajar makan tanpa jerih payah.

SI PECI
Kenapa tidak membayar?

PEMUDA
Saya mau membayar, uang saya ketinggalan.

SI PECI
Ketinggalan di mana?

SI KURUS
Di bank?

PEMUDA
Di rumah.

SI KURUS
Di mana rumahmu?

PEMUDA
Di sini.

SI KURUS
Di sini di mana?

PEMUDA
Di kampung ini.

SI KURUS
Kau warga kampung ini?

PEMUDA
Saya orang baru.

SI KURUS
Kau tahu nama kampung ini?

PEMUDA
Pegulen.

SI KURUS
Pegulen? Di RT mana kau tinggal?

PEMUDA
Di RT lima.

SI KURUS
RT lima betul?

PEMUDA
Kalau tidak keliru.

SI KURUS
Kalau tidak keliru?

PEMUDA
Mungkin saya lupa, saya orang baru.

SI KURUS
Baik. Siapa kepala RT lima?

PEMUDA
Saya orang baru di kampung ini.

SI KURUS
Tentu saja kau harus mengatakan orang baru di kampung ini, sebab kalau kau mengatakan orang lama di kampung sini tentu kau harus menjawab siapa nama kepala RT lima. Baik, dari mana asalmu?

PEMUDA
Muntilan.

SI KURUS
Dekat. Nah, kau katakan di mana tempat tinggalmu?

PEMUDA
RT lima Pegulen.

SI KURUS
RT lima dimana?

PEMUDA
Di RT lima.

SI KURUS
Ya, di rumah siapa?

PEMUDA
Dekat bengkel Slamet.

SI KURUS
Bengkel Slamet, bengkel mobil itu?

PEMUDA
Bengkel sepeda.

SI KURUS
O.., Ya betul, bengkel sepeda. Di mana bengkelnya?

PEMUDA
Di dekatnya.

SI KURUS
Di atasnya?

PEMUDA
Di sebelahnya.

SI KURUS
Ya, di sebelah atas.

PEMUDA
Sebelah kiri.

SI KURUS
O…, rumah siapa itu?

PEMUDA
Rumah tukang sepatu.

SI KURUS
Hapal sekali. Tukang sepatu siapa namanya?

PEMUDA
E….. Mas Narko, Sunarko.

SI KURUS
Salah, ternyata kau bohong. Nah, sejak sekarang saya akan memanggilmu pembohong. Rumah itu adalah rumah saya. Di muka rumah itupun berdiri rumah Simbok ini. Kau bohong.

PEMUDA
Saya tidak bohong. Bukankah diantara rumah saudara dan bengkel ada sebuah rumah petak yang agak bagus.

SI KURUS
Kau cerdas sekali, tapi tolol. Rumah itupun rumah pak Prawiro, bukan rumah mas Sunarko.

PEMUDA
Barangkali namanya Sunarko Prawiro.

SI KURUS
Indah sekali namanya. Kau yakin benar nama itu?

PEMUDA
Saya tidak begitu kenal namanya.

SI KURUS
Tentu saja pak Prawiro itu sangat tidak kenal padamu.

PEMUDA
Tapi saya kenal orangnya dan saya mondok pada istrinya.

SI KURUS
Setiap orang yang punya sepatu yang rusak dan buruk seperti sepatumu pasti kenal padanya. Dia tukang sepatu.

PEMUDA
Tapi saya betul-betul kenal.

SI KURUS
Betul?

PEMUDA
Betul.

SI KURUS
Betul?

PEMUDA (diam)

SI KURUS
Puh! Pembohong. Tampangmu saja sudah mirip bajingan. Pintar kau ngoceh ya? Saya adalah orang yang paling benci pada ketidakjujuran, saya muak. Saya menyesal sekali melihat penipu semuda kau. Tapi saya terlanjur muak. Saya benci, kau tahu? Gaji saya sedikit, tapi saya tak mau menipu atau mencuri. Ya, tentu saja kau semakin kurus, sebab benar kata Joyoboyo, yang pintar keblinger yang jujur mujur. Sekarang baiklah, bayar atau tidak? Ya memang sedikit uang delapan puluh rupiah, tapi bagi saya kejahatan tetap kejahatan, dan saya benci serta menyesal, yang melakukan perbuatan hina itu adalah manusia bukan anjing. Dan lebih menyesal lagi kalau yang melakukan kerja nista itu adalah bakal dan calon orang, yaitu kamu, PEMUDA. Nah, bayar atau tidak? Terus terang.

PEMUDA
Saya mau bayar.

SI KURUS
Bayarlah!

PEMUDA
Uang saya ketinggalan.

SI KURUS
Ketinggalan di mana? Di Bank? Di kantong pak Prawiro atau mau mencopet dahulu? Mau belajar jadi garong… biar… cair kepalamu? Sayang kumismu jarang, kalau panjang dan lebat saya sudah gemetar.

PEMUDA
Betul, uang saya ketinggalan.

SI KURUS
Bohong!

PEMUDA
Sungguh.

SI KURUS
bohong. Kau tadi sudah bohong sebab itupun kau pasti pembohong.

PEMUDA
Percayalah mas, kalau saya berbohong………

SI KURUS (memotong)
 
Bohong. Bohong kau…… (geram hendak memukul pemuda itu tetapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya) Saya percaya kau adalah manusia, bukan binatang. Saya jadi ingat saudara saya sendiri. Seperti sekarang juga saya merasa parah dalam hati. Waktu itu saya tidak bisa menahan diri lagi sebenarnya, tetapi saya juga mengerti bahwa saudara saya itu mesti masuk penjara, sebab ia telah melakukan kejahatan yang kubenci, tapi saya merasa parah dan tetap benci akan apa yang berbau ketidakjujuran. Sekarang terus terang saja mau bayar atau tidak?

DARI PINTU MUNCULLAH SI KACAMATA, SI TUA, DAN LAIN-LAIN, YANG TAK HADIR HANYA SI PENDEK.

SI KACAMATA
Ada apa?

SI PECI
Makan tidak bayar.

SI TUA
Siapa, pemuda ini?

SI PECI
Ya, pemuda ini?

SI KACAMATA
Segagah ini?

SI PECI
Kalau tidak gagah barangkali tidak berani ia menipu (pada pemuda) Hei, pemuda. Kau punya uang tidak?
 

PEMUDA (lama)
 
Punya.

SI PECI
Nah, kenapa mesti tidak bayar?

PEMUDA
Uang saya ketinggalan.

SI PECI
Ketinggalan? Lebih baik tidak usah berbohong. Kalau bersikeras semua orang akan mengempalkan tangannya dan darah akan mengotori mukamu nanti. Bayar atau…

PEMUDA
Uang saya ketinggalan.

SI KURUS
Ketinggalan-ketinggalan. Sekarang mengakulah. Kau mau menipu ya?

SI PECI
Punya uang tidak?

SI KURUS
Mengaku.

SI PECI
Kau pasti tidak punya uang.

SI KURUS
Dan kau mengaku penipu.

SI TUA
Nah, bilang saja terus terang, jangan kau sakiti badanmu sendiri.

SI KACAMATA
Sudah kawan-kawan, saya yakin dia tidak beruang. Tapi….. Sebab itu lebih baik ia menanggalkan celananya saja. Kalau memang dia berduit tentu ia nanti boleh mengambil celananya kembali. Jadi celananya jadi jaminan. Bagaimana?

SI PECI
Ya, lebih baik begitu, semua orang setuju.

SI KURUS
Tanggalkan pakaianmu.

PEMUDA
Saya malu.

SI KURUS
Tidak, kau tidak punya malu. Kau tidak malu makan tidak bayar. Tanggalkan celanamu! Tanggalkan!

SI PECI
Cepat!

PEMUDA
Saya tidak pakai celana dalam.

SI KURUS
Bohong, kau pembohong sebab itu kau pembohong.

PEMUDA
Sungguh mati. Demi Tuhan, tentang celana dalam saya tidak berbohong. Kalau saya menanggalkan pantalon saya, saya telanjang. Oh, sungguh saya tidak tahu bagaimana saya mengatakannya. Dan tentu saja sayapun tak dapat membuktikannya. Percayalah kalau saya membuka celana, akan telanjanglah saya.

SI KURUS
Sejak tadi kau sedang menelanjangi dirimu sendiri dan kau diam-diam telah memberi api pada setiap orang yang telah melihatmu.

TIBA-TIBA SEORANG PEREMPUAN JURAGAN BATIK BERSAMA PEMBANTU YANG MEMAYUNGINYA MUNCUL DAN IA TERTARIK UNTUK MELIHAT KEJADIAN ITU.

PEREMPUAN (dengan yang nyata-nyata dibuat-buat ia bicara pada si kacamata)
 
Ada apa to dik?

SI KACAMATA
Makan tidak bayar.

PEREMPUAN
Siapa?

SI KACAMATA
Si pemuda ini.

PEREMPUAN
O, lalu?

SI KACAMATA
Mula-mula dia mau menipu pura-pura akan mengambil uang yang katanya ketinggalan tetapi agaknya dia berbohong. Sebab itu kami sepakat kalau ia menanggalkan celananya untuk pengganti uang atau untuk jaminan kalau memang di punya uang.

PEREMPUAN
Berapa tho, habisnya?

SI KACAMATA
Berapa dik?

SI KURUS
Delapan puluh rupiah.

PEREMPUAN
Ah, sedikit. Baiklah, jangan ribut-ribut. Kasihan. (mengambil uang dari tasnya) Ini Mbok seratus rupiah.

SI KURUS
Nanti dulu, Mbakyu. Mbakyu bilang kasihan padanya, sehingga mendorong rasa kasihan Mbakyu untuk membayarnya. Tidak, tidak, saya tidak tersinggung. Sayapun memang kalau delapan puluh itu sedikit dan saya juga dapat atau siapa saja masih mampu memberi, tapi bukan itu soalnya. Kalau Mbakyu kasihan padanya sama seperti Mbakyu membantu melahirkan seorang bandit di tanah kewalian ini. Saya juga maklum, apa yang Mbakyu lakukan itu mulia, tapi hal yang mulia juga minta tempat dan saat yang tepat. Dan sekarang saat tidak minta yang sejenis itu. Apa yang kami lakukan sekarang adalah juga kemuliaan, meskipun menampakkan kekasaran dan penghinaan, tetapi ia juga bersama kemuliaan yang diridhoi Tuhan. Dan jangan lupa saya dan teman-teman di sini atau siapa saja juga mampu kalau berniat memberi anak pemuda ini uang seratus rupiah, tetapi bukan itu soalnya.

SI PECI
Ya, itu soalnya.

SI KACAMATA
Ya.

SI TUA (mengangguk-angguk)

TANPA MEMBERI REAKSI APA-APA PEREMPUAN DAN PEMBANTUNYA PERGI MELANJUTKAN PERJALANAN.

SI PECI
Sombong benar perempuan itu.

SI KURUS
Mau buka celana tidak?

PEMUDA (diam)

SI KURUS
Baiklah, tadi saya sudah berkata dan saya percaya bahwa kau bukan anjing, karenanya kau pasti memiliki rasa malu. Baik, sekarang bajumu saja kau tanggalkan.

SI PECI
Ya, baju saja.

SI KACAMATA
Ya, baju saja.

SI PECI
Ayo cepat.

SI TUA
Nah, sebentar lagi kalau mata orang-orang di sini copot dan melotot, maka gemparlah di muka pabrik ini, sebab ada seorang pemuda yang dipukuli ramai-ramai oleh orang banyak.

PEMUDA
Saya melepaskan baju saya, Pak!
 

SI KURUS
Lepaskan!

PEMUDA
Saya tidak berkaos.

SI PECI
Tak perduli. Tanggalkan.

SI KURUS
Malu, malu! Priyayi kamu? Ha? Tak berkaos malu, tapi berani menipu. Laknat kau ini. Penipu bagi dirimu sendiri! Lepaskan!

PEMUDA
Saya akan melepaskan tapi bukan baju melainkan sepatu.

SI PECI
Sepatu kain yang jebol itu? Kau telah membuat dagelan yang lebih menjengkelkan lagi tau?

SI KACAMATA
Ya, satu rupiah tak akan ada orang yang sudi membeli sepatu abunawas itu.

TIBA-TIBA TERDENGAR GEMURUH SUARA TRUK. MENDEKAT DAN BERHENTI TIDAK JAUH DARI TEMPAT ITU.

SI KACAMATA
Nah, pak sopir datang. Biarlah dia yang membereskannya biar tahu rasa kalau nanti lengannya sudah dikilir oleh pak sopir.

SI SOPIR
Ada apa hah?

SI PECI
Makan tak bayar.

SI SOPIR
Si kecil ini?

SI KACAMATA
Ya, si kecil ini.

SI SOPIR (pada pemuda)
 
Oo, sudah kenyang, hah? Terlalu pagi. Matahari masih terlalu rendah untuk dikhianati. (pada si peci) Lalu, akan kita apakan dia?

SI PECI
Ia harus menanggalkan bajunya.

SI SOPIR
Begitu semestinya. Lebih baik makan baju daripada makan tidak bayar, bukan? Lalu?

SI PECI
Ia menolak melepaskan bajunya.

SI SOPIR
Itu tidak adil, ia bisa menolak untuk telanjang badan tapi ia makan tanpa bayar seenaknya. Itu tidak adil. (pada pemuda) He, anak muda. Kau pemuda Indonesia, bukan? Tidak, jangan mengangguk! Kalau kau meng-iya-kan pertanyaan saya kau sama dengan mengatakan bahwa pemuda Indonesia itu dibolehkan makan di warung tanpa bayar. Tidak, tanah ini akan menangis mendengar cerita itu. Dengarkan! Dulu waktu sehabis perang saya juga pernah menjadi pencopet, tanpa perduli lagi. Tapi malang rupanya tangan ini terlampau kasar sehingga tangan ini lebih suka diborgol, dalam penjara. Nah, di tempat yang sepi itu aku mengakui bahwa aku telah menyakiti orang, menyakiti hati dari tanah yang kita cintai ini dan pasti Tuhan akan menutup pintuNya bagi orang semacam aku. Sebab itulah setelah aku keluar dari rumah yang baik dan mulia itu, kemudian aku menjadi lebih maklum bahwa kita tak boleh berbuat jahat. Tidak, jangan. Tapi dengarlah lagi! Kau tahu, kalau kau berjalan ke arah barat dari arah sini kau akan sampai pada sebuah perempatan, di mana berdiri beberapa batang pohon beringin. Kau tentu sudah tahu di belakang pohon beringin itu berderet asrama. Dan kau tahu asrama apa itu? (lama) Asrama Polisi! Nah, kau suk kuantarkan ke asrama itu?

PEMUDA (diam)

SI SOPIR
Suka! Tentu tidak, ya? Nah, copot bajumu!

PEMUDA
Saya malu.

SI SOPIR
Jangan malu-malu (keras) copot!

PEMUDA MENANGGALKAN BAJUNYA PADA SI PECI.

SI PECI (menyerahkan baju kepada Simbok)
 
Simpanlah baju ini Mbok. Nanti kalau ia kembali membawa uang berikan baju ini.

SI SOPIR
Beres sudah! Ayolah, kita bekerja sekarang. Habis waktunya terbuang.

ORANG-ORANG PERGI, MASUK KE DALAM PABRIK. KECUALI SI SOPIR YANG PERGI KE ARAH DARI MANA IA MUNCUL TADI. TAPI BELUM LAMA DUA LANGKAH ORANG-ORANG BERGERAK TIBA-TIBA….

SI KURUS
Saya kira kalau baju itu disimpan Simbok sekarang niscaya kurang aman. Lebih baik baju itu dititipkan pada Abduh yang kerjanya dekat jendela.

SI PECI
Baiklah, Mbok, saya membawa bajunya ke dalam. Kalau ada apa-apa panggillah saya. (menerima baju)

BERES SUDAH……ORANG-ORANG SUDAH MULAI BEKERJA, DI HALAMAN ADA SIMBOK DAN SI PEMUDA. GEMURUH MESIN KEMBALI NYATA. LEWAT SEORANG PEREMPUAN MENJAJAKAN JENANG GENDUL. SANGAT NYARING SUARANYA.

PEMUDA
Mbok, mula-mula maksud saya tidak akan menipu. Sesudah dua hari ini saya hanya minum air mentah saja. Tidak makan apa-apa.

SIMBOK (diam)

PEMUDA
Seminggu yang lalu saya masih di Klaten, bekerja di sebuah bengkel. Ya aku tidak cukup dapat makan. Sebab itulah aku mencari pekerjaan di sini.

SIMBOK (diam)

PEMUDA
Asalku sendiri dari desa, desa yang wilayahnya di gunung kidul, Wonogiri. Juga Mbok pun tahu tanah macam apa yang menguasai tanah macam gunung kidul itu. Tanah tandus. Tanah yang tidak mengkaruniakan buah bagi mulut yang papa. Sebab itulah aku turun dan mengembara sampai ke pesisir utara ini. Tapi jarak selatan sampai ke pesisir utara tidak juga memberikan apa-apa. Karenanya aku terus menyusuri ke Barat, ke tanah wali ini, dengan harapan tanah serta rumah di kota ini akan sudi memberi makan saya. Tujuh hari sudah saya disini dan dua hari sudah saya lapar. Dan pada hari ketiga kelaparan saya membawa saya kemari ke tempat Mbok berjualan pecel. Tidak, saya tidak bermaksud menipu. Sekali-kali tidak (menengadah) Tuhan, kutuklah aku!

SIMBOK (bangkit dan bergerak menuju jendela dan berseru)
 
Abduh! Abduh!

SI PECI (di jendela)
 
Ada apa Mbok?

SIMBOK
Mana baju tadi?

SI PECI
Dia membawa uang?

SIMBOK
Tidak, baju itu akan saya bawa ke pasar, saya jual.

SI PECI
Nanti direbut oleh anak itu lagi.

SIMBOK
Tidak, kemarikan saja.

SI PECI
Baiklah (lenyap dari jendela, kemudian Simbok menerima baju tadi lewat jendela)

PEMUDA
Ya, Mbok sebelum saya memesan nasi pecel tadi saya sudah berjanji pada diri sendiri, tidak, saya harus membayar! Entah kapan saja tapi harus bayar. Demi Allah, hukumlah saya. Ya, Mbok kalaupun saya pergi tak kembali kesini atau kapan saja saya pasti kemari untuk membayar makan saya. Ibu saya mengajarkan kejujuran dan hukum bahwa, bekerja artinya tenaga, bahwa bekerja artinya makan. Hal itu kusadari sejk aku mulai tahu bahwa tanah tempat saya berpijak sangat keras, begitu angkuh dan tandus.

SIMBOK (memberikan baju tanpa berkata apa-apa)

PEMUDA
Tidak Mbok, bukan maksud saya minta dikasihani, saya hanya ingin menceritakan dan saya hanya ingin mengatakan bahwa hati saya bersih. Terhadap baju itu sudah rela dan paham bahwa barang itu patut saya berikan pada Simbok sebagai ganti makanan yang telah saya makan.

SIMBOK
Terimalah.

PEMUDA
tidak.

SIMBOK
Terimalah.

PEMUDA
tidak.

SIMBOK
Terimalah.

PEMUDA
Mbok percayalah.

SIMBOK
Saya percaya sebab itu kau harus mau menerima baju kembali.

PEMUDA
Tapi baju ini bukan milikku lagi. Ibu bilang aku tidak boleh memiliki barang kepunyaan orang lain. Tidak… Ada air mata di mata Simbok.

SIMBOK
Tidak.

PEMUDA
Saya tidak tahan melihat orang menangis, meskipun ibuku senantiasa menangis setiap malam. Dan sekarang hanya tinggal tangisnya belaka sebab itu telah lewat. Simbok kasihan pada saya lalu menangis? Tidak!

SIMBOK
Tidak, saya ingat anak saya.

PEMUDA
Simbok punya anak?

SIMBOK
Ya, satu-satunya, jantan yang cantik.

PEMUDA
Dimana sekarang?

SIMBOK
Di sini.

PEMUDA
Di sini?

SIMBOK
Di Kendal. Di PENJARA.

PEMUDA
Ha?

SIMBOK
Ya, sayapun tak pernah menyangka, anak saya itu akan menjadi pencuri sepeda. Tidak, saya cukup memberi ia makan. Tapi barangkali disebabkan pergaulannya atau barangkali saya salah mengajar atau mendidik dia atau…..atau…..atau…. Oh, saya tidak tahu. Tapi aku tahu dan percaya matamu lain dengan matanya. Saya melihat matamu bening, sebab itu saya yakin kau tidak seperti anak saya. Kau seperti kemenakan saya. Kau pasti…Kau pasti anak baik. (tiba-tiba) Akh, cepat terimalah baju ini dan segeralah kau pergi dari tempat ini sebelum penjaga malam sampai kemari.

PEMUDA (menerima baju itu)
 
baiklah. Terima kasih dan selamat tinggal Mbok.

BEGITU IA LENYAP, MUNCUL PENJAGA MALAM YANG TAMPAK BARU SELESAI MANDI. IA TAMPAK KEDINGINAN.

PENJAGA MALAM
Minta pecel yang pedes (kedinginan). Katanya tadi ada pemuda yang mau menipu?

SIMBOK (tak begitu acuh)
 
Ya.

PEMJAGA MALAM
Bagaimana tampangnya?

SIMBOK
Kurus dan cantik.

PENJAGA MALAM
Pakai baju lurik.

SIMBOK
Ya, kalau tidak salah.

PENJAGA MALAM
Bajigur! Bajigur! Kurang ajar dia. Tapi dia tak jadi menipu di sini bukan? Kemana ia? Jangkrik anak itu! Belut!

SIMBOK
Ada apa? Ada apa?

PENJAGA MALAM
Pasti dia. Kemarin malam dia juga menipu di sebuah warung di pasar Kauman.

SIMBOK
Haa….? (menelan ludah) Ya, Allah.

LANGIT DI ATAS MULAI KOTOR OLEH NAFAS MANUSIA DAN LALU LINTASPUN MULAI LEBIH RAMAI. SEORANG ANAK LAKI-LAKI MENJAJAKAN ES LILIN LEWAT, TANDA HARI SUDAH SIANG. SUARANYA NYARING, MENYEMBUL DI SELA-SELA KESIBUKAN.

SELESAI

Read more »»  

MALU 7 Sentimeter
(Nuramila)

Sore itu suasana berbeda kurasakan. Aku merasa berada pada wahana baru, asing dan tak pernah ku berkenalan dengannya. Mungkin ini karena ruangan kelas yang kutempati belajar disore itu kini telah berbeda. Tak seperti sebelumnya, lantai keramik yang selalu menyambut langkahku ketika hendak memasuki ruangan kelas dan warna ceria cat dinding  yang memicu semangat pagiku, kini tak ada lagi. Kali ini aku berada dalam ruangan yang berbeda tanpa lantai keramik dengan warna dinding yang cukup kusam. Sore ini aku masuk dikelas yang baru, duduk dengan posisi bangku paling depan, tepat sejajar dengan meja dan kursi dosen. Akupun siap menerima Mata Kuliah, menunggu dosen yang sebelumnya sempat kujumpai secara langsung memintanya untuk bisa menyempatkan diri menyajikan materi perkuliahan dikelas.

Perkuliahan pun dimulai. Karena pertemuan ini merupakan pertemuan pertama dengan sang dosen tersebut, maka untuk kali ini sang dosen memulai perkuliahan dengan perkenalan masing-masing mahasiswa.”Tak kenal maka tak sayang “sekiranya begitulah kata pepatah, sehingga memang akan lebih baik jika pertemuan pertama dimulai dengan kegiatan perkenalan.

Masing-masing teman dikelas mendapat kesempatan, untuk ditanyai, perkenalannya mulai dari nama, alamat sekarang, dan asal daerah. Tapi untuk dosen ini, jika menyebutkan alamat ataupun asal daerah harus jelas desa apa, kecamatan apa, kabupatennya apa, bahkan sampai provinsinya....Wahhhh suasana kelas tiba-tiba jadi Waoooo, mungkin karena semua mahasiswa lagi mikir alamat mereka sedetail mungkin agar bisa menjawab dengan lancar ketika tiba giliran mereka.

Suasana kelas kini berubah jadi gaduh, tawa terbahak-bahak menjadi hiasan ruangan kelas sore itu, semua teman dikelas tak sanggup menahan tawa seketika sang dosen mengeluarkan humor atau leluconnya.

Perkenalanpun selesai, kini saatnya beralih untuk pembahasan materi perkuliahan, sang dosen pun menjelaskan mengenai bagaimana tahap perkembangan manusia dari bayi hingga mencapai usia dewasa. Kucoba menyimak setiap rangkaian kata yang keluar, memahami kalimat demi kalimat dan mencoba menangkap maksud pembahasan tersebut.

Namun, entah mengapa sore itu, pikiranku buyar, kacau tak karuan. Usahaku untuk menyantap makna celoteh sang dosen, kini percuma saja. Tak ada yang bisa kudapat, tak ada yang bisa kumengerti. Rangkaian kata yang kudengarpun, hanya sesuatu yang berlalu tanpa ada sedikit pun yang singgah berkunjung menjumpai jiwa dan pikirku. Hingga tiba saatnya sang dosen membahas bagaimana pertumbuhan fisik seorang bayi.

“ Berapa ukuran bayi yang baru lahir?” tanya sang dosen kepada semua penduduk yang berada dalam kelas.

Suasana ruanganpun sempat senyap perlahan, bisu. Namun seketika kembali gaduh. Sebuah balon telah meledak. Seperti itulah kegaduhan kelas. Beberapa menit berlalu setelah dosen melemparkan pertanyaannya kepada seluruh penduduk kelas, namun tak ada satupun yang bersedia menggerakkan indra ucapnya. Mungkin mereka masih berada dalam area berpikir, masih mengasah dan mencoba merefres otaknya, mencoba mengingat kembali, berapa jawaban dari pertanyaan sang dosen.

Merasa risih karena tak ada yang menjawab pertanyaan dari sang dosen, maka akupun memberanikan diri untuk menjawab. Tanpa berbekal pengetahuan, tanpa berisi pemahaman.

Kujawab dengan lantang “ 7 Pak”....

Sang dosen kebingungan, sambil menumpahkan tertawaan kecil.

 “ Maksudnya 7 apa? Sentimeter atau meter”...

“7 sentimeter pak” kuulang kembali jawabanku dengan lantang..

“hahahahahah”

Sang dosen tertawa terbahak-bahak begitupun dengan teman sekelasku, semuanya tertawa. Tak sanggup mendengar jawaban yang sempat kulontarkan..

“Kalau 7 sentimeter itu bukan bayi tapi anak kucing” tambah sang dosen...

Kelas semakin gaduh, semua tertawa mendengar jawaban konyol yang sempat terucap..
Aku ikut tertawa, kebingungan...

Beginilah jadinya kalau mata, hati dan jiwa tidak tertuju pada dosen ketika sedang mengikuti perkuliahan...Tak akan ku ulang lagi hal ini. Hal yang sangat memalukan. Malu 7 sentimeter.
Read more »»  

MALAM JAHANAM (DRAMA)
Lakon
MALAM JAHANAM
KARYA : MOTINGGO BOESJE



DIPINGGIRAN LAUT KOTA KAMI, PARA NELAYAN TAMPAK SELALU GEMBIRA MESKIPUN MISKIN. RUMAH MEREKA TERDIRI DARI GUBUK, TIANG BAMBU BERATAP DAUN KELAPA. SUARA MEREKA YANG KERAS DAN GURAUAN KASAR MEREKA, SEOLAH MENGESANKAN BAHWA MEREKA KURANG AJAR. BEGITU PULA PAKAIAN MEREKA, YANG LELAKI BERCELANA KATOK DAN BERBAJU KAOS HITAM DENANG GOLOK DIIKAT DI PINGGANG.

KAIN SARUNG TERSELEMPANG, BERKOPIAH DAN MATA YANG TAJAM MENGESANKAN DARAH YANG KERAS.

PERERMPUAN DISINI BERBICARA PEDAS, PENUH GAIRAH DAN PAHIT. PAKAIAN MEREKA MENCOLOK DI TUBUH PADATNYA, MENCOLOK SEPERTI KETAWANYA YANG KERAS, SAMBIL BIBIR BERGINCU ITU MELEMPARKAN SENYUM YANG SEOLAH-OLAH KURANG AJAR.

TETAPI BETAPUN SEBENARNYA, MEREKA, SEPERTI DIMANA-MANA MEMPUNYAI JUGA KELEMBUTAN HATI DAN KETULUSAN, BIARPUN MUNGKIN KETULUSAN YANG AGAK BODOH.

MALAM INI SEMUA ITU TERJADI.

I

MALAM INI, PERKAMPUNGAN NELAYAN ITU, DIRUMAH MAT KONTAN DAN SOLEMAN TAMPAK SEPI. BARANGKALI HAMPIR SEISI KAMPUNG MELIHAT UBRUK, SEBAB BUNYI UBRUK DISEBELAH TIMUR BEGITU SAYU MENIKAM-NIKAM.

HANYA UJUNG ATAP DAN TONGGAK BAMBU RUMAH SOLEMAN SAJA YANG TAMPAK DIKIRI. DEKAT TONGGAK BAMBU ITU TERGANTUNG SEBUAH LENTERA YANG DIOMBANG-AMBING ANGIN BARAT. ADA SEBUAH BANGKU DIBAWAH LENTERA ITU, BIASA DIPAKAI OLEH SOLEMAN UNTUK DUDUK-DUDUK, TAPI MALAM INI BANGKU ITU KOSONG.

RUMAH YANG DIHADAPAN RUMAH SOLEMAN ITULAH RUMAHNYA MAT KONTAN, SEORANG YANG TERKENAL SOMBONG DI KAMPUNG ITU. PINTU RUMAHNYA TERTUTUP. BIASANYA, DISEBELAH KANAN PINTU ITU IA DUDUK DI SEBUAH BANGKU BAMBU PANJANG. DENGAN MENAIKI BANGKU ITU IA SERING BERSIUL MEMPERMAINKAN PERKUTUTNYA DI DALAM SANGKAR YANG TERGANTUNG PADA UJUNG ATAP. DIKIRI PINTU ADA BEBERAPA PELEPAH KELAPA TERONGGOK. SEBUAH TIANG JEMURAN DI DEPAN RUMAH MASIH DISANGKUTI PAKAIAN, PERLAHAN TERHEMBUS OLEH BIAS YANG BERHEMBUS DARI BALIK RUMAHNYA BERSAMA KERTAS-KERTAS.
DI KEJAUHAN KELAM, SAMAR BUNTUT PERAHU, BEBERAPA TIANG TEMALI PERAHU MENGABUR. SUNYI MAKIN TERTEKAN KARENA SUARA UBRUK DI KEJAUHAN ITU SEMAKIN MENGERAS.

II

TIBA-TIBA SUNYI ITU DIPECAHKAN OLEH SUARA TERTAWA PENDEK GELI DARI SI UTAI SETENGAH PANDIR YANG BARU KELUAR DARI PINTU RUMAH MAT KONTAN. IA TERUS BERLARI DAN BERSEMBUNYI DI DEKAT POJOKAN RUMAH SOLEMAN. TERTAWANYA TERTINGGAL DI SANA. TAK LAMA SESUDAH ITU KELUAR PAIJAH ISTRI MAT KONTAN BERTERIAK SAMBIL MENCARI-CARI.

PAIJAH
Kurang ajar! Kurang ajar! Kurang ajar, si Utai sinting!

MATANYA MELIHAT JEMURAN DAN MENGAMBIL SATU PERSATU JEMURAN ITU, TETAPI IA MASIH JUGA MENCARI-CARI SI UTAI. KETAWA SI UTAI MELEDAK

UTAI
Ampun! Ampun!

MUNCUL DARI PERSEMBUNYIANNYA SAMBIL MENGGARUK KEPALA

PAIJAH
Babi! (tapi kemudian tertawa lucu). Ayo bawa pakaian si kecil ini ke jemuran! Eh, edan! Eh, ke jemuran (latah), Eh, bukan! Ke dalam!

UTAI
Saya kira saya mau dipukul tadi! (mengambil pakaian) Saya sudah panas dingin (sambil tertawa ia masuk)

PAIJAH BERJALAN MENUJU BANGKU DI MUKA RUMAHNYA, DUDUK, BERNAFAS LEGA. TAK LAMA KEMUDIAN KELUAR UTAI TERTAWA GELI.

UTAI
Si kecil tidur lagi biarpun kepalanya panas. (tak dihiraukan), He, kau anggap batu saja mulut saya ya?

PAIJAH (dengan nada mengambang)
Sudah malam belum pulang.

UTAI
Siapa?

PAIJAH
Mat Kontan!

UTAI
Dia itu orang paling repot di kampung kita. Tidak? Tidak ha?

PAIJAH
Dari pagi belum pulang.

UTAI
He eh! Dari pagi saya belum merokok sebab dia nggak ada. Kemana sih dia?

PAIJAH
Mestinya beli burung ke Kalianda! (melengos ke gantungan sangkar di samping). Nggak cukup satu dua. (diam sebentar) kalau tidak, mestinya pergi taruhan. Kalau tidak ............

UTAI (melihat sesuatu terbang)
Kalau tidak, menangkap kumbang

MELOMPAT DAN BERPUTAR-PUTAR DI HALAMAN SAMBIL TANGANNYA MENANGKAP SESUATU TAPI TIDAK KENA-KENA

PAIJAH
Bangsat. orang omong benar dia main-main.

UTAI (kecewa karena tidak mendapatkan).
Apa tadi mpok? Apa?

PAIJAH
Si Kontan, lakiku. Mat Kontan.

SUARA TANGIS BAYI DI DALAM MENGAGETKAN PAIJAH


PAIJAH
Duuuuh! Si Kontan kecil nangis lagi, tuh! Kau sih ribut tertawa saja!

PAIJAH MASUK. UTAI KECEWA, PERGI PERLAHAN KE SUDUT RUMAH MENGAMBIL PELEPAH DAUN KELAPA. BERJINGKAT DIA PERGI, MENGHILANG DI BALIK KELAM DALAM SIUL SINTINGNYA.

III

SOLEMAN MUNCUL DARI RUMAHNYA. IA TAHU KEMANA UTAI PERGI. KEMUDIAN IA MELIHAT SEKELILING. IA DUDUK-DUDUK DI BANGKUNYA DENGAN LUTUT MENUTUP MUKANYA, TAPI ASAP ROKOK MENGEPUL DARI BALIK LUTUT ITU. KINI MATANYA MENATAP KE PINTU RUMAH MAT KONTAN LAMA-LAMA SAMBIL MEMBETULKAN SARUNG YANG MELINGKARI LEHERNYA. SEBENTAR-BENTAR KOPIAHNYA DITEKAN-TEKAN, TAPI KEMUDIAN MENOLEH MENDENGAR SUARA DIKEJAUHAN. SUARA ITU ADALAH SUARA TUKANG PIJAT, SEORANG BUTA YANG SERING MELINTAS SAMBIL MENYERET KALENG BEKAS SUSU. BARU KEMUDIAN IA MUNCUL DISAMPING RUMAH MAT KONTAN, TAPI TAK BEGITU JELAS KARENA DISANA AGAK GELAP.

TUKANG PIJAT ( aneh dan spesifik sekali)
Jaaaaat.........pi, jaaaaat....pi

BERULANG-ULANG DAN MEMBUAT KESAL SOLEMAN KARENA BUNYI KALENGNYA MEMBUAT BERISIK

SOLEMAN
Hei ! Sudah berapa kali dibilang, jangan kelewat keras kalau lewat disini!

TUKANG PIJAT
Hee, kau Leman ? Ngak melihat pertunjukan ubruk?

SOLEMAN
Ngak. Pergi sana!

TUKANG PIJAT KEMBALI DENGAN SUARA KHASNYA PERGI MENGHILANG
SOLEMAN BERNAFAS LEGA DAN MENGELUARKAN PISANG DARI KANTONGNYA. TAPI...

UTAI (datang dengan ketawa pendeknya yang menjengkelkan)
Man. Bagi Man.

SOLEMAN
Ini satu lagi biang keladi. Pergi sana!

UTAI (memperhatikan dengan sedih kulit pisang yang dibuang).
Kalau begitu, bagi dong rokoknya!

SOLEMAN (mengambil rokok kreteknya dan melemparkan sebatang)
Pergi sana! Nanti kutendang kau!

UTAI (setelah memungut rokok)
Terimakasih pak.

IA PUN MENGHILANG, PAIJAH MUNCUL DI PINTU RUMAHNYA

PAIJAH
Ada apa Man?

SOLEMAN
Jahanam betul mereka!

PAIJAH DUDUK DI BANGKUNYA. SOLEMAN MEMANDANG PAIJAH, TAPI PAIJAH MENGHINDARI PANDANGAN ITU DENGAN MELIHAT KEARAH KEGELAPAN. SUARA KERETA API DARI JAUH SEMAKIN DEKAT, LALU MELINTAS DERUNYA DIBALIK RUMAH SOLEMAN, DISINI PANDANGAN MEREKA BERTEMU

SOLEMAN (masih memandangi paijah, memasang rokok dan berkata acuh tak acuh)
Kau ngak keluar malam ini Jah?

PAIJAH (terkejut, membalas pandangan).
Ngak.

SOLEMAN
Begini gelap malamnya.

PAIJAH
Ya, gelap. Hati saya juga ikut gelap.

SOLEMAN
Kau susah Jah!

PAIJAH
Tahu sendiri saja! Ya, memang saya susah, Man.

SOLEMAN
Kau dengar suara ubruk di sana?

PAIJAH (angguk).
Kudengar. Kau ngak pergi?

SOLEMAN
Ngak! Capek! Semalam suntuk saya dan lakimu main empat satu. (melihat paijah murung). Kau murung benar!

PAIJAH
Si Kecil sakit. Kontan belum pulang. Panas saja badannya seharian ini!

SOLEMAN
Ngak dibawa ke dukun!.

PAIJAH
Dukun! Dan punya laki yang asik dengan perkutut, kepala haji, beo dan kutilang? Mana bisa jadi!

SOLEMAN
Tiap hari kau mengumpat begitu.

SUARA TANGIS BAYI MENYEBABKAN PAIJAH TERKEJUT BEGITU JUGA SOLEMAN. PAIJAH MASUK RUMAH DAN DIIKUTI OLEH SOLEMAN, DI KEJAUHAN TERDENGAR TAWA MAT KONTAN. SOLEMAN KELUAR, LEWAT SAMPING RUMAH DAN MENGHILANG).

IV

DENGAN MEMBAWA SANGKAR BURUNG MAT KONTAN TERTAWA KESENANGAN. SETIBA DI DEPAN RUMAH SOLEMAN, IA BERHENTI.

MAT KONTAN
Hei, Man! Kau masih tidur ha? (karena tidak dijawab ia ketawa lagi) Kalah cuma lima puluh kok susah! (menuju sangkar burung perkutut yang bergantung dan bersiul menirukan burung itu). Hiphooo (mengambil sangkar dan melihat sekeliling) Sudah hampir malam nih! Kau musti tidur, tut. Sekarang kau sudah kucarikan bini. Nih! (ia menunjukkan sangkar yang baru dibawa). jah? (ia ketawa lagi). Paijah?

KARENA TAK DIJAWAB MAKA IA MASUK RUMAH, TAPI KEMUDIAN IA KELUAR KEMBALI DAN DUDUK DI BANGKU BAMBU SAMBIL MENGGARUK KUDIS KAKINYA. MATANYA SILAU KENA SOROT BATERI DARI TEMPAT KELAM

MAT KONTAN
Siapa itu! Siapa itu!

SOLEMAN (muncul mendekat dan mempermainkan cahaya senternya).
Baru pulang Tan?

MAT KONTAN ( tertawa gembira dan melompat).
Kau tahu?

SOLEMAN
Apa? Burung lagi?

MAT KONTAN (meledak tertawanya).
Ha! Bagaimana kau bisa menebak? Darimana kau tahu itu?

SOLEMAN (duduk).
Saya kira kau tadi ngobrol dengan haji Asan di tikungan gudang lelang. Betul ngak? Ha?

MAT KONTAN
Ha, kali ini kau salah tebak! Matamu sudah lamur barangkali! Bukan haji Asan, tapi Pak Pijat! Tapi itu tidak penting Man. Kau tahu perkutut yang kubawa tadi? Itu adalah perkutut yang paling mahal harganya di dunia. Uang ikan yang kita dapat kemarin dari borongan itu, saya belikan semua buat perkutut. Dan kekalahan kau yang berjumlah lima puluh itu buat ongkos mobil. (memandang soleman terdiam disangkanya tak memperhatikan) Ha? Kau tak percaya ha? Mau liha? Mau lihat?

SOLEMAN
Percaya sih percaya. Tapi anakmu, si kecil, sakit kan?

MAT KONTAN
Persetan si kecil! (sadar) O, anakku! Maksud saya tadi persetan penyakit. Mudah-mudahan ia lekas sembuh!

SOLEMAN
Kalau sembuh. Kalau tidak sembuh bagaimana?

MAT KONTAN
Ha ? Maksudmu..............mati?

SOLEMAN (MENGANGGUK)

MAT KONTAN
Kau kira si kecil bisa mati? Mat Kontan kecil bisa mati, begitu?

SOLEMAN
Sedang Nabi bisa mati?

MAT KONTAN
Jangan takuti saya Man. Itu satu-satunya kebanggaan saya disamping burung dan bini saya Paijah. Saya telah terlanjur berdo’a pada Tuhan agar Cuma dikaruniai satu anak. Kalau si kecil mati tentu hilanglah kebanggan saya sepotong.

SOLEMAN TERTAWA MENGEJEK

MAT KONTAN
Kau mengejek saya ya?

SOLEMAN
Bukan mengejek, tapi kau ngak kasihan sama satu nyawa?

MAT KONTAN
Ya kasihan!

SOLEMAN
Kau ngak kasihan sama binimu?

MAT KONTAN
Ya kasihan!

SOLEMAN
Dari tadi ia tunggu kau datang.

MAT KONTAN
Benar? Masa! Ah, tak usah repot-repot perkara perempuan.

SOLEMAN
Kau terlalu mengutamakan burung daripada binimu dan si kecil.

MAT KONTAN
Memang!

SOLEMAN
Memang. Kau tidak bangga punya bini cantik ha?

MAT KONTAN
Bangga? Sudah saya bilang tadi saya bangga. Saya kan sudah lama ngak ke kota Agung? Tadi saya ke sana. Saya bilang bahwa saya sudah punya anak satu sekarang. Anak, yang keluar dari rahim bini saya yang cantik.

SOLEMAN
Tapi kebangggaan itu tak pernah terasa oleh binimu.

MAT KONTAN (memanggil)
Paijah, Paijah!

PAIJAH (muncul).
Ada apa?

MAT KONTAN
Saya akan mengatakan kepadamu bahwa saya tadi ke kota Agung dan bertemu dengan kawan-kawan lama.Saya bilang, bahwa kau sudah punya anak sekarang.

PAIJAH
Tapi sudah itu kau terus cari burung.

MAT KONTAN (salah kira).
Ha, Ijah!

PAIJAH
Tanpa memikirkan kami.

MAT KONTAN
Hah? Ah masuklah kau! Tidak mengerti urusan lelaki. Masuklah. Kami mau ngobrol.

PAIJAH MASUK

MAT KONTAN
Biniku memang manis.

SOLEMAN (hanya mengangguk)

MAT KONTAN
Kau tahu apa yang terjadi sesudah saya bilang bahwa saya sekarang sudah punya anak? (diam sebentar, kemudian tertawa). Mereka yang dulu sering mengejek saya sebagai lelaki mandul jadi konyol.

SOLEMAN (mempermainkan ujung kakinya, lalu malas memperhatikan mat kontan).
Saya pulang dulu. Pintu belum dikunci.

MAT KONTAN
Nanti dulu. Hei, kan kita ada nih?

SOLEMAN TETAP PERGI KERUMAHNYA. DEPAN PINTU RUMAHNYA IA BERDIRI, SEPERTI ADA YANG DIPIKIRKANNYA. TIBA-TIBA.

MAT KONTAN
Man! (soleman tak menoleh). Kau ngak enak mendengar saya ngomong sekarang ya? Kalau kau mau diganti kembali uang kekayaanmu kemarin. Baiklah!

SOLEMAN
Sesuatu yang sudah kita serahkan, sukar untuk ditarik kembali.

MAT KONTAN
Apa maksudmu? Apa maksudmu Man?

SOLEMAN
Ya, sesuatu yang sudah kau punyai sekarang, biar bagaimanapun, bukan milik saya lagi.

MAT KONTAN
Saya tak mengerti Man.

SOLEMAN
Memang kau tak pernah mengerti.

MAT KONTAN
Ha? Saya tak pernah mengerti? Saya pikir, sayalah orang yang paling mengerti tentang sesuatunya di dunia ini.

MAT KONTAN LALU PERGI KETENGAH HALAMAN, LALU MELIHAT KE LAUT DAN BERKATA SAMBIL MENUNJUK-NUNJUK.

MAT KONTAN
Saya mengerti angin, ikan, burung, wayang dan agama.

SOLEMAN
Kau juga mengerti tentang pasir? Pasir boblos?

MAT KONTA MERASA SESUATU, SEHINGGA IA TERSENTAK. DENGAN CEPAT IA MELOMPAT KE SOLEMAN, KETIKA MUKANYA TIBA-TIBA DISENTUH TRAGEDI SEHINGGA IA BERKERINGAT . DIDEKAPNYA KAWANYA ITU.


MAT KONTAN (takut).
Jangan bilang tentang itu, Man. Saya paling takut kalau kau bilang perkara itu. (melepaskan). O, aku takut kalau kau ulangi cerita lama itu. Saya adalah orang yang kepingin panjang umur, Man. He, kau masih ingat peristiwa itu, Man?

SOLEMAN
Masih.

MAT KONTAN
Kau masih ingat bagaimana saya kejeblos dalam pasir dan berteriak minta tolong ketika hampir mati?

SOLEMAN (mengangguk)

MAT KONTAN
Saya harap sungguh, hal itu jangan kau ceritakan lagi.

MAT KONTAN KEMBALI KE PEKARANGAN RUMAHNYA, DUDUK DIBANGKU, LAMA TERMENUNG KARENA TAKUT.

MAT KONTAN
Man. Sini Man.

SOLEMAN
Saya sudah bosan dengan cerita itu-itu juga. (tapi kemudian ia mendatangi mat kontan).

MAT KONTAN
Sungguh, Man. Saya kepingin hidup panjang umur. Kepingin melihat si Kontan kecil yang jadi milik saya satu-satunya. Semoga nanti persis seperti saya sifatnya.

SOLEMAN
Kalau sifatnya seperti saya bagaimana?

MAT KONTAN (terdiam terperangah bernafas berat).
Itu tentu saja tak mungkin. Sedang namanya saja sudah persis seperti saya. Kau dengar? Kontan kecil! Si Kontan keci!!

SOLEMAN
Sudah pekak kuping saya mendengar lagakmu.

MAT KONTAN
Biar!

SOLEMAN
Mulai malam ini jangan ceritakan lagi tentang anakmu itu. Ceritakanlah yang lain.

MAT KONTAN
Kalau begitu cerita saya, saya tukar. Apa ya?

SOLEMAN PERGI KETEMPAT JAUH YANG AGAK GELAP. MEMPERMAINKAN KERIKIL DAN MELEMPARKANNYA JAUH-JAUH.

MAT KONTAN (lembut)
Man. (soleman tak menyahut). He, Man (tak menyahut). Man. Kau iri pada saya Man? Kau iri kalau saya begitu bahagia punya istri dan anak?

SOLEMAN
Tidak. Tidak iri.

MAT KONTAN
Jadi kenapa kau benci kalau saya cerita tentang si kontan kecil?

SOLEMAN
Buat apa saya iri padamu. Kau juga sering membohongi diri sendiri. Ya, kau juga sering berlagak.

MAT KONTAN
Pasti! Pasti kau iri pada saya. Kau iri karena saya punya bini yang cantik. Seorang anak lagi yang bakal cinta pada perkutut bapaknya. Kau juga iri barangkali, sebab kalau kita main taruhan empat satu kau selalu saja kalah.

SOLEMAN KEMBALI MENDEKATI MAT KONTAN. MULANYA MAT KONTAN TAKUT TAPI SETELAH DILIHATNYA SOLEMAN TERTAWA IA HERAN. APALAGI DILIHATNYA SOLEMAN DUDUK DI BANGKUNYA DAN MAIN KERIKIL.


SOLEMAN
Ceritalah lebih banyak, Tan. Biar saya tuli.

MAT KONTAN
Jadi kalau begitu kau masih senang pada saya? Kalau begitu tebakan saya salah kali ini. Belum pernah saya menebak salah tentang dri seseorang selama ini. (DUDUK). Bagaimana saya akan menceritakan lebih lanjut tentang bini saya, ha?

SOLEMAN HANYA MENGANGGUK-ANGGUK KETIKA MAT KONTAN TERTAWA LEBAR

MAT KONTAN
Bagaimana bini saya!?

SOLEMAN
Cuma satu jawabanya, cantik!

MAT KONTAN
Bagus! Lagi! Lagi!

SOLEMAN
Mengairahkan!

MAT KONTAN
Betuuuuuul, betul. Dan saya sekarang kepingin membelikan dia baju rok. (mengeluarkan uang dari kantong). Ini. Tadi saya menang judi.

SOLEMAN
Apa? Rok. Baju rok Sanghai kata orang itu?

MAT KONTAN
Iya! Saya lihat bini si Sadu, Si Johari dan Si Hidayat pada pakai rok model Cina sekarang. Bini Bastari sudah beranak tiga malah pakai itu.

SOLEMAN
Tapi binimu lebih bagus pakai kebaya sempit begitu.

MAT KONTAN
Kau tahu apa tentang perempuan. Buktinya kau belum punya bini sampai sekarang. Itu sudah kuno, bung.

SOLEMAN
Kuno dan tidak kuno bukan pada pakaian.

MAT KONTAN
A-ha! Persetan! Tapi kenapa kau bilang mesti berkebaya.

SOLEMAN
Pakai kebaya itu gulung kainnya sempit. Jadi bisa menggiurkan jejaka-jejaka.

MAT KONTAN
Jadi kalau begitu kau juga senang dan tergiur jika melihat bini saya memakai pakaian sempit-sempit?

SOLEMAN MENGANGGUK

MAT KONTAN (terperangah sebentar, kemudian tertawa).
Ha ! Saya senang! Saya memang senang kalau orang tergiur sampai keluar ludahnya barang sebatok kalau melihat bini saya.

SOLEMAN
Jadi kalau ada orang cinta pada binimu kau juga senang. Ha!

MAT KONTAN
Senang! Sebab itu berarti juga orang akan cinta pada saya. Bahkan saya akan potong rambutnya pendek-pendek seperti bini si Asnin! Bajunya belang-belang kuning seperti macan tutul. Itu tandanya kita sudah jaman modern. Ah, kau tahu apa tentang arti ngomong Belanda itu!

SOLEMAN
Memang enak punya bini.

MAT KONTAN
He, orang lelaki yang ngak mau berbini itu tandanya belum lelaki. Paling-paling tak berani sama perempuan. Kau tahu kambing kebiri saya yang mati? Ia mati karena kesepian! Kau lama-lama bisa jadi seperti kambing kebiri saya itu.

SOLEMAN
Kalau anakmu seperti kambing nanti bagaimana?

MAT KONTAN
Mana bisa? Karena bapaknya Raja Perkutut, anaknya tentu Raja Kutilang setidaknya. Tak mungkin seperti kambing. Si Kontan kecil adalah anakku. Bukan anakmu!

SOLEMAN
Jangan ulang lagi perkara Kontan kecil. Ceritalah tentang perkutut atau beo.

MAT KONTAN (ingat sesuatu)
Aih, saya sudah linglung sekarang. Saya sudah dua hari ini lupa sama beo saya!

SOLEMAN KAGET MENDENGAR INI, IA PERHATIKAN MAT KONTAN, TAKUT.

V

MAT KONTAN MASUK RUMAHNYA. DALAM RUMAH KEDENGARAN RIBUT-RIBUT DENGAN SUARA BANTAHAN PAIJAH. SOLEMAN MASUK RUMAHNYA, MENGUNCI PINTU. KETIKA KELUAR, BERPAPASAN DENGAN SI UTAI SINTING. SOLEMAN HILANG DALAM GELAP. MAT KONTAN KELUAR DENGAN TANGAN HAMPA.


MAT KONTAN
Man, Man. (matanya tertuju ke rumah soleman). Man! Beo saya hilang, Man.

(Utai Tertawa)

Diam!

(Utai Tertawa Lagi)

Diam, kataku diam! (ia mengambil pelepah kelapa akan memukul anak itu).

UTAI
Ampuuuuuun. Ampuuuun!

MAT KONTAN
Kenapa kau tertawa ha?

UTAI
Jadi burung beo mamang terbang?

MAT KONTAN
Ya.

UTAI
Saya melihatnya kemarin dekat sumur.

MAT KONTAN
Diam! Jangan ngomong gila! Ini sungguh!

UTAI
Saya juga sungguh!

MAT KONTAN
Apa katamu tadi? Melihat burung saya? Beo saya dekat sumur? Ia terbang kearah sumur di belakang itu?

(Utai mengangguk dan tertawa pendek).

MAT KONTAN
Jangan tertawa dulu. Hayo kita cari.

UTAI
Ngak bakal ketemu mang.

MAT KONTAN
Kau permainkan diri saya ya? Ha? (mau memukul).

UTAI
Sabar, mang. Sungguh, saya berani taruhan, ngak bakal ketemu.

MAT KONTAN
Kenapa coba, kenapa?

UTAI
Sudah mati dia, mang.

MAT KONTAN
Mati? Ayo kita cari bangkainya! Biar saya ambil lampu senter (akan pergi tapi kemudian terhenti).

UTAI (tertawa).
Tulang bakainyapun tak bakal ketemu. Mubajir susah-susah mencari.

MAT KONTAN
Apa? Apa kau bilang! Mubajir? Akan saya kubur dia.

UTAI
Ya, mubajir. Ia sudah dibawa anjing Pak Rusli kemarin.

MAT KONTAN (mengancam dengan memegang leher baju utai).
Utai jangan cari gara-gara! Gua hajar nanti lu! Betul yang ini apa bohong?

UTAI
Berani sumpah Qur’an! Saya betul.

MAT KONTAN
Kalau begitu. (dengan sedih), Kau betul Utai. Kalau begitu anjing si Rusli itu yang perlu dipentung. (tapi tiba-tiba melengos melihat Paijah muncul).

PAIJAH MUNCUL DENGAN MUKA KESAL

PAIJAH
Perkara Beo saja ributnya sampai ke gunung Krakatau. Anaknya tak pernah dipikirkan.

MAT KONTAN
Diam kau!

PAIJAH
Apa? Diam? Kalau anak itu mati bagaimana?

MAT KONTAN
Itu bukan anak saya.

PAIJAH (menirukan).
Itu bukan anak saya, tapi di warung kau sibuk membanggakannya.

MAT KONTAN (sadar kembali).
Ha! Memang anak saya. Memang! Memang ia saya banggakan di mana saja. Tapi kau juga ikut memikirkan masalah burung ini?!

PAIJAH
Emoh!

PAIJAH MASUK.

UTAI (tertawa menirukan).
Emoh!

MAT KONTAN
Bagaimana Beo-ku?

UTAI
Lehernya berdarah!

MAT KONTAN
Leher Beo-ku berdarah? Iya?

(Utai tertawa melingkar–lingkarkan badannya).

Soleman mana? Soleman mana?

UTAI
Mau apa sama dia?

MAT KONTAN
Kita ajak ia ke tukang nujum.

UTAI
Kenapa burung mati mesti di nujum?

MAT KONTAN
Ya, mesti. Mana si Leman. He, geblek! Mana dia ha?

UTAI
Buat apa sih dinujum? Mau ditanya masuk sorga atau neraka?

MAT KONTAN
Diam, setan! Kita mau nujum siapa yang memotong lehernya. Kalau kedapatan akan kubunuh dia! (memanggil soleman).

PAIJAH KELUAR MENJENGUK DENGAN CEMAS.

MAT KONTAN
Pergi berjudi dia barangkali.

UTAI
Kalau begitu kita pergi berdua saja.

MEREKA BERDUA PERGI MENGHILANG DALAM KELAM.

VI

PAIJAH MERASA LEGA LALU IA MASUK KE DALAM. IA KELUAR MENUJU RUMAH SOLEMAN

PAIJAH
Man! Leman

TAPI SETELAH SADAR PINTU DI KUNCI, BERLARI KE SAMPING DAN DUDUK DI BANGKU. PAIJAH KAGET AKAN CAHAYA SENTER KE MUKANYA, IA BERDIRI DAN SEDIKIT GEMBIRA IA BERJALAN MENGHAMPIRI SOLEMAN DI HALAMAN. SOLEMAN MENGAJAK PAIJAH DUDUK DI BANGKU RUMAHNYA, SEDANG IA MASIH MEMPERMAINKAN CAHAYA SENTER KE PINTU RUMAH MAT KONTAN.

SOLEMAN
Kenapa mukamu pucat?

PAIJAH
Saya cari kau tadi Man.

SOLEMAN
Laki-mu pergi?

PAIJAH
Ya, ke tempat nujum.

SOLEMAN
Begitu jauh, ada dua kilo setengah, kan?

PAIJAH
Ah, betul-betul edan dia. (berdiri membelakangi). Betul-betul edan dia, tidak mengerti perasaan perempuan.

SOLEMAN
Kalau saya laki-mu tentu saya mengerti.

PAIJAH (tiba-tiba membalik).
Man!

SOLEMAN
Apa? (menyenter muka paijah).

PAIJAH
Saya takut tadi, Man. Saya dengar ia mau bunuh orang. Dan kau dicarinya Man.

SOLEMAN
Ia nggak berani pada saya. Apalagi mau bunuh!

PAIJAH
Tapi ini betul-betul Man. Burungnya, beo itu-mati!

SOLEMAN (kaget)
Lalu? (ia berdiri dan melihat kesamping rumahnya, ada kecemasan di dalam dirinya kalau-kalau mat kontan datang. dari jauh soleman bersuara, tangannya menyenter tubuh paijah). Lalu bagaimana?

PAIJAH
Burung itu mati. Kau tahu kan beo itu? Yang sering kau permainkan kalau kau kerumah saya?

SOLEMAN (datang mendekati paijah)
Lalu?

PAIJAH
Lehernya berdarah. Dan ia akan bunuh siapa saja yang memotong leher burungnya itu (dengan mata mengharap) Man.

SOLEMAN (dengan pandangan penuh gairah).
Apa?

PAIJAH
Saya takut.

SOLEMAN (senyum bergairah).
Takut apa?

PAIJAH
Takut sama lakiku. Jika ia menuduh saya yang membunuh bagaimana?

SOLEMAN
Kau merasa memotong leher itu apa tidak? (dilihatnya paijah menggeleng). Nah, ngak usah kuatir.

PAIJAH
Tapi Mat Kontan sering kalap.

SOLEMAN (memegang bahu paijah dan mendudukan di bangku. ia memasang rokok setelah menenangkan paijah).
Biar bagaimanapun ia marah, ia takkan bunuh kau. Sebab kau salah satu kebanggaan dia. Jadi biar bagaimanapun salah kau, ia akan memaafkan.

(Paijah menangis terisak)

He, jangan seperti si kecil nangis. Kau malah harus mendiamkan anakmu yang nangis, kan? (tangan membelai rambut paijah).

(Paijah lari melompat, tapi diburu dan tangannya ditarik soleman, ia membimbing paijah ke bangku rumahnya)

Kau jang kuatir. Nanti aku yang membela kau.

PAIJAH
Tapi saya takut dengan goloknya. (melihat muka soleman dan berkata setengah menangis) Sungguh!

SOLEMAN
Ah, percayalah. Seiris bawangpun ia tak berani melukaimu!

PAIJAH
Jadi apa kataku bila ia menanyai saya?

(Soleman cuma tercenung berfikir. dengan mempermainkan senter ia pergi ke tempat yang jauh kelam. suara ubruk mengeras. Paijah Setengah marah, agak menjerit).

Kau diam!

SOLEMAN
Ya, karena itu juga suatu hal yang sulit.

PAIJAH
Tapi katamu tadi gampang.

SOLEMAN
Gampang buatku, karena saya lelaki!

PAIJAH
Carilah jalanya sebelum ia kembali!

SOLEMAN
Jalan satu-satunya, karena saya lelaki ialah: menghadapinya sebagai lelaki!

PAIJAH
Apa? Apa maksudmu?

SOLEMAN
Kalau kau disentuh saja, akan saya sentuh pula dia. Kalau kau dilukainya, akan saya lukai dia! Dan kalau kau di bunuhnya, akan saya bunuh dia (berjalan pelan mendekati paijah)

PAIJAH
Jangan Man. Kita akan buyar, malu dan di usir dari sini.

SOLEMAN
Ya, terpaksa begitu. Sebab saya bukan penakut. Saya jantan. Dan saya punya sejarah turun-temurun.

PAIJAH
Sejarah turun-temurun?

SOLEMAN
Ya. (terduduk) Ayah saya jahanamnya juga seperti saya ini. Ia jahanam, biarpun ibu saya syah untuk bininya. Tapi ini tak usah saya ceritakan Jah!

PAIJAH
Ceritakan, Man. Yang satu ini.

SOLEMAN
Saya akan mengutuk karenanya!

PAIJAH
Ceritakanlah, Man. Kenapa?

SOLEMAN (memandang paijah dengan aneh)
Karena perempuan ia mati. Karena perempuan ia jahanam. Tapi aku akui, ia lelaki tulen.

(Paijah jadi gelisah)

SOLEMAN
Lelaki tulen juga bisa mati karena takut. Ia takut menghadang pucuk senapan, sehingga ia mati membelakangi! Dan ketika ia lari itu ia ditembak. Ia ditembak, sebab bini orang yang dijahanaminya itu ialah bini polisi. Tapi saya sudah besar ketika itu dan dapat membayangkan membalas dendam. Kenapa ia akhirnya takut? Saya tak mengerti kenapa si pemberani bisa takut kemudian. Tapi, betapun, ia lelaki tulen, Jah. Lelaki tulen dengan darahnya yang benar-benar merah.

PAIJAH (lembut karena takut).
Kau juga takut Man?

SOLEMAN
Cukup bapak saya saja! Sayat tidak akan. Saya adalah kelanjutan dia, karena ia mewariskan saya!

PAIJAH
Kau akan bunuh Mat Kontan?

SOLEMAN
Belum pasti. Tapi saya ingat pepatah seorang Padang. Kau kenal Angku Buyung? (Paijah mengangguk). Ialah yang menceritakan pepatah itu dan meresap pada diri saya.

PAIJAH
Apa katanya, Man?

SOLEMAN
Musuh pantang dicari, tapi jika datang pantang kau elakkan. Saya tidak akan memusuhi Mat Kontan. Tapi jika Mat Kontan akan menyerang saya, saya pantang lari, bahkan membalas.

PAIJAH
Jangan Man!

SOLEMAN
Pasti dia tak berani membacok saya!

PAIJAH
Kalau kau memang tak apa! Tapi saya, perempuan lemah ini, bagaimana bisa jadi?

SOLEMAN
Kau jangan takut. Karena lelaki bersifat melindungi. Lelaki seperti kata bapak saya: harus berdarah tajam yang mengalirkan warisannya melewati siapa saja yang rela!

PAIJAH (lembut)
Kenapa kau tak kawin saja, Man?

SOLEMAN
Kawin cuma satu tanggungan, menyebabkan kita berotak dua. Ya saya tahu kemudian, bahwa ibu saya juga sejahanam ayah saya karena ia rela dijahanami lelaki lain. Saya takut kawin, karena saya kwatir jika istri saya dijahanami lelaki lain.

(Soleman pergi ke rumahnya, tapi Paijah mengikutinya)

Kau di situ saja menjelang ia datang. Saya di sini (menunjuk bangkunya).

PAIJAH
Saya takut, Man.

SOLEMAN
Disana saja kata saya!

BENTAKAN SOLEMAN INI MENYEBABKAN PAIJAH TAKUT DAN KEMBALI KE BANGKUNYA

PAIJAH (setelah mengeluh dan memandangi soleman yang terpekur )
Man. (soleman muak). Man, kau dengar suara saya? Kau dengar suara saya? (soleman tetap menunduk). Saya menyesal sekarang, Man!

SOLEMAN (kaget dan mengangkat kepalanya)
Menyesal?

PAIJAH
Ya, menyesal.

SOLEMAN
Ulangi!

PAIJAH
Menyesal, karena begini jadinya. Nanti akan terbuka juga rahasia kita. Tapi tak apa! Saya kepingin punya anak, dan anak itu telah saya dapatkan.

SOLEMAN(berdiri)
Kenapa kau menyesal? (paijah hanya menghapus air matanya). Jah! Anak itu takkan saya ambil. Jah.

(Soleman mendekati perempuan itu. tapi tangis paijah semakin menjadi. Soleman pergi ke gelap malam. perlahan)

Saya ingat, Jah. Macam begitu tangismu dulu mengisak meminta kepada saya. Sekarang kalau menyesal. Buat apa kita menyesal. Saya juga tak pernah menyesal harus jadi jahanam kapiran begini. Ya, tidak karena dalam diri manusia, betapun kecilnya, ada jahanamnya. Cuma saja ada yang tak sempat dan tak sanggup menjalankan. Dan kita adalah orang yang kebetulan sanggup. Kenapa kita menyesal, Jah?

(Tiba-tiba ia membalikkan badan setelah keduanya berdiam lama. soleman mendekati paijah dan duduk disampingya. Setelah menyenter sekeliling)

Begitu sepi semuanya. Alangkah enaknya jika beginian terus, dunia ini ada kita berdua saja!

PAIJAH ( hanya memandangi wajah soleman)

SOLEMAN
Kau kwatir pada hari matimu bila maut tiba?

(Paijah hanya menganggukkan kepala)

Mungkin saya juga, Jah. Sekarang saya lebih baik mengaku saja (mereka kini saling pandang). Saya juga punya takut. (DIAM) Mungkin juga Nabi. Tapi Jah, saya bunuh beo itu, karena binatang jahanam itu telah menyiksa saya!

PAIJAH (terkejut mendengar berita itu)
Apa? Kau bunuh? Kau yang memotong lehernya?

SOLEMAN
Ya. Kau ingat Jah? Kau ingat, bahwa ketika saya mengganggumu, ketika si kecil masih berumur sebulan? Kau bilang: “Jangan ganggu saya. Man! Jangan ganggu saya!”, dan perkataan itu diulangi oleh beo itu. Dua hari yan lalu, ketika saya pegang tanganmu dan kau bilang : “Jangan ganggu saya”, beo keparat itu mengulangi lagi. (setelah menelan nafas). Karena itu ia saya potong lehernya. Saya potong dan saya lempar ke dekat sumurmu.

PAIJAH
Kita bisa celaka!

SOLEMAN
Akan saya hadapi semua yang menantang, Jah! (setelah merasa ngeri, ia bersuara menghadap paijah dengan gemetar). Biar bagaimanapun saya akan menghadapi maut!

(Paijah menangis)

Kenapa jadi menangis, hah? Saya hanya akan mengabulkan apa yang kau minta dulu dan telah saya beri. Anak itu telah lahir. Kalau saya mati karena lahirnya dia, itu berarti saya akan bernasib sama dengan bapak saya. Tapi semoga cucu bapak akan meneruskannya, sebab perjuangan kakeknya belum selesai.

PAIJAH
Tidak, Man! Si kecil tidak akan.

SOLEMAN
Itu mungkin jalan menyimpang dari kemauan saya.

PAIJAH
Cukup kita saja yang jadi jahanam terkutuk.

SOLEMAN
Ya, karena sekarang kau sudah menyesal, sih.

PAIJAH (setelah berfikir sebentar, tiba-tiba ia kaget).
Man!

SOLEMAN
Apa?

PAIJAH
Sebentar lagi tentu mereka datang. Man, saya takut Man!

SOLEMAN
Tenang saja. Tenang saja.

PAIJAH
Kalau saya dipaksa bagaimana?

SOLEMAN
Bilang saja saya yang membunuhnya. Saya, Soleman.

PAIJAH
Saya nggak mau, Man!

SOLEMAN
Kenapa? Kenapa he?

PAIJAH (lembut pelan)
Saya nggak mau. Ada orang mati karena saya, dan orang itu kau.

SOLEMAN
Kalau saya mati itu bukan karena kau. Itu juga karena saya ikut berjahanam!

PAIJAH (menangis terisak)
Tidak, Man. Tidak bisa, Man.

SUARA BAYI DI DALAM MENGEJUTKAN MEREKA.

SOLEMAN
Mintalah doa restu di ubun anak itu.

PAIJAH
Putuskan dulu yang ini! Jika ia minta keterangan kenapa Soleman membunuhnya, bagaimana?

SOLEMAN
Pertanyaan itu tidak saya bolehkan kau menjawabnya. Pertanyaan itu hanya untuk saya. Dan saya akan menjawabnya. Pergilah masuk! Anak itu rupanya tambah sakit.

VII

PAIJAH MASUK, TINGGAL SOLEMAN YANG GELISAH LALU MEROKOK, TAPI ROKOK ITU BARU DIHISAP LALU DIMATIKANNYA. IA PERMAINKAN SENTERNYA KARENA GELISAH, LALU PERGI MENUJU KEJAUHAN, MELEMPARKAN BATU LALU KEMBALI LAGI. PAIJAH KELUAR SEBENTAR TAPI MASUK LAGI SEBAB DARI JAUH TAWA UTAI SUDAH DIDENGAR. TAK LAMA KEMUDIAN MAT KONTAN DAN UTAI TIBA DI HALAMAN
UTAI TERTAWA.

MAT KONTAN
Diam! Orang kesusahan, kamu tertawa! (tiba-tiba matanya melihat soleman).

SOLEMAN
Dari mana?

MAT KONTAN (mendekati mengabarkan berita sedih)
Man, burungku beo yang kubeli seribu itu mati.

UTAI LARI MENGEJAR SERANGGA YANG TERBANG, MENCOBA MENANGKAPNYA TAPI TAK BERHASIL TERUS MEMBURU.

SOLEMAN
Sebaiknya jangan pikirkan yang sudah mati itu.

MAT KONTAN
Apa? Jangan dipikirkan? Apa kau kira saya ini gila ha?

SOLEMAN
Siapa tahu Tan nanti ada saja rejeki numpuk, kau beli yang lebih mahal.

MAT KONTAN
Apa kau kira beo semacam itu ada tandingannya di pojok dunia ini? Dua tahun saya memeliharanya?! Sekarang barangkali lebih dari harga mobil dokter Ajad yang mungil itu.

SOLEMAN
Kau selamanya selalu merasa selalu yang paling, yang paling. Sehingga kau sendiri jadi pangling!

MAT KONTAN
Jangan coba-coba hina saya ya! (kepada utai). Hei. Berhenti main gila itu! Saya bisa tambah gila. Ayo berhenti! (utai duduk di bangku rumah mat kontan).

MAT KONTAN
Sedang anak gila itu (menunjuk utai). Dia bisa pikir dan sedih atas kematian beo-ku. He, Utai. Kau kan sedih ya.

UTAI
Ya!

MAT KONTAN (mengambil rokok dan melemparkannya)
Kau memang jempolan.

(Utai mengambil rokok dan minta api lalu duduk ditempatnya semula

MAT KONTAN (kepada soleman)
Otakmu dimana sekarang. Dimana ha?

SOLEMAN
Saya cuma menganjurkan. Tapi sedih sih ya ikut sedih!

MAT KONTAN
Betul? Betul sedih? (tertawa senang). Kemana kau tadi tidak nongol ketika saya cari agar bersama ke tukang nujum! (bernafas karena tak dijawab). Saya kira malam ini paling jahanam dalam hidup saya.

SOLEMAN
Belum tentu.

MAT KONTAN
Siapa bilang belum tentu? Tukang nujum yang biasa meramalkan nasib saya itu sudah mati pula empat hari yang lalu (melihat utai yang mempermainkan rokok dibangkunya). Hei, jangan dibakar bangku bagus itu! Panggil mpok Ijah!

(Utai masuk ke dalam dan keluar kembali bersama paijah. paijah memandang pada soleman, soleman mengatakan sesuatu dalam pandangannya)

Hei Jah! Siapa kiramu yang memotong leher burungku!

PAIJAH (menggeleng)
Mana saya bisa tahu?

MAT KONTAN (menirukan)
Mana saya bisa tahu? (menghardik) Atau kau sendiri ya? Iya? (berdiri menyebabkan paijah takut) Kau potong mau dimakan? Di sate? Begitu? (mendekati) Jawab!

(Soleman berdiri semua pandangan tercekam disini)

Ayo jawab!

SOLEMAN
Dia sakit tuh Mat! Tuh mukanya kan pucat. Barangkali........

MAT KONTAN
Jangan urus urusan orang lain, Leman. Nanti saya ikut mata gelap pada kau! (sadar melihat paijah menangis).

PAIJAH MASUK DIIKUTI MAT KONTAN. UTAI, SETELAH DIISYARATKAN SOLEMAN IKUT MASUK. SOLEMAN BERDIRI DI PINTU DAN GELISAH

SUARA PAIJAH
Buat apa burung itu untuk saya. Si bayi lebih penting.

SUARA MAT KONTAN
Ee, jangan ngotot! Jawab dulu siapa yang bunuh.

KEMUDIAN TERDENGAR TANGIS PAIJAH, TANGIS BAYI DAN SUARA MAT KONTAN YANG TIDAK TENTU

SUARA PAIJAH
Kalau tidak, bunuh saja saya, nih sama golok!

SUARA MAT KONTAN
Ee, jangan main-main sama saya ya? Saya ini Mat Kontan. Setiap orang punya utang harus dibayar dengan kontan. Jawab!

SUARA PAIJAH
Saya tidak tahu!

MAT KONTAN
Bangsat! O Tuhan! Bilanglah oleh-Mu ya Nabi Adam, siapa yang sebiadab ini membunuh burung saya. O Nabi Yakub. Bini saya juga bangsat dan bodoh! Kenapa dunia ini makin tolol Tuhanku?

PAIJAH
Kalau kau paksa juga saya akan minggat!

PAIJAH KELUAR MENGGENDONG BAYI YANG MENANGIS. LARI KE BANGKU DAN DUDUK SETENGAH TAKUT. MAT KONTAN MENYUSUL

MAT KONTAN
Jangan kau lari. Awas!

VIII

PAIJAH DUDUK DAN MEMBELAI KEPALA ANAKNYA YANG TETAP MENANGIS. SOLEMAN MEMPERHATIKAN MAT KONTAN YANG TAMBAH GUGUP. MAT KONTAN MEMANDANGI SOLEMAN, MATANYA SEPERTI MEMINTA SESUATU. SOLEMAN MENANTANG MATA MAT KONTAN DENGAN PANDANGAN JANTAN

MAT KONTAN
Apa yang akan ku lakukan.

SOLEMAN
Lakukanlah semaumu. Itu urusan kau!

MAT KONTAN (kepada Paijah)
Ya ayo pergi kalau kau betul-betul mau minggat. Kemana kau bisa minggat, coba kemana?

PAIJAH (tetap tunduk menangis)
Ke rumah pamanku.

MAT KONTAN (mengejek)
Ke rumah pamanku. Pamanmu adalah orang yang paling miskin di dunia, tahu! Bukankah?

PAIJAH
Tapi saya harus kesana!

MAT KONTAN
Pergilah! Pergilah sana! Tapi anak itu jangan kau bawa. Anak itu adalah anak saya tahu!

PAIJAH
Bukan! Ia adalah anak saya yang pasti, sebab ia keluar dari rahim saya sendiri.

MAT KONTAN
Apa katamu, apa?

PAIJAH
Ya! Untuk dia ini saya pernah berkorban segalanya!

MAT KONTAN (akan masuk berdiri di pintu)
Kalau begitu kau memang harus jadi korban

(tapi matanya melihat pada soleman. Paijah jadi takut, lalu melihat pada soleman tapi mata soleman tertuju pada mat kontan).

Ia telah membinasakan hati saya! Man! Ini harus saya balas Soleman.

SOLEMAN HANYA MEMANDANGINYA)

MAT KONTAN (berteriak)
Jawablah saya, Leman!

(tapi ia lemas menantang mata jantan itu, sehingga ia terkulai, terjatuh didepan pintu. Utai tertawa melihat itu. Mat Kontan bangkit, marah)

Hai! Kau mau kubunuh ya? Ya?

(akan mengejar utai, tapi anak itu lari menghilang. Mat Kontan lemas)

Kalian semua ini jahanam.

SOLEMAN
Saya jangan kau ikut-ikutkan Mat!

MAT KONTAN (kepada paijah)
Kau telah menyedihkan hati saya. Kau adalah bini saya jadi kau juga harus bertanggung jawab atas burung kesayangan saya karena saya juga sayang padamu.

PAIJAH (setelah memandangi soleman)
tapi kau juga laki saya, tapi sayangmu Cuma di mulut. Jadi kau bukan laki saya.

MAT KONTAN
Bilang sekali lagi bahwa saya ini bukan lakimu!

PAIJAH (membelai kepala anaknya yang menangis).
Kau tak pernah memikirkan anak saya ini. Tapi dimana saja kau banggakan ia!

MAT KONTAN (berubah lalu mendekati anaknya)
tapi ia belum begitu sakit. Seluruh anak kecil dikampung kita ini memang sedang musim sakit.

(Mat Kontan jadi letih, lalu melepaskan napas panjang ia berkata-kata sesuatu tapi tak jelas)

Man! Burung itu baru beberapa waktu yang lalu bisa ngomong dengan jelas. Kau tahu apa yang dibilangnya ketika masih hidup? Ketika saya dekati, ia bilang,” Jangan cubit saya! Jangan cubit saya!” Kenapa burung bisa berkata seperti manusia?

SOLEMAN (melihat si anak tambah menangis,. lalu mendekat dan memegang kepala anak itu)
Mari saya gendong anak ini Jah!

MAT KONTAN (kaget berdiri)
Jangan sentuh anak itu! Itu anak saya.

SOLEMAN(tidak jadi mengambil).
Baiklah! Itu sudah kepunyaan kau sekarang. Tapi saya ingin bertanggung jawab atas nyawanya.

MAT KONTAN
Apa kau punya hak atas nyawanya?

SOLEMAN
Biar bagaimanapun, ia adalah anak manusia bukan anak burung.

MAT KONTAN
Diam kau babi! Diam kau sebelum saya hantam!

SOLEMAN
Sekarang, apa yang akan kau lakukan sebagai lelaki, sebagai bapak, sebagai Mat Kontan yang selalu membayar kontan?

MAT KONTAN
Cari dulu siapa pembunuh burung saya. Ia juga harus dihajar dengan kepal tinju ini (mengacungkan tinjunya).

SOLEMAN
Kau tak kan berani. (melihat Paijah, Paijah takut).

MAT KONTAN
Apa? Apa kau bilang barusan?

SOLEMAN
Kau tak kan berani sebab kau pengecut paling besar di dunia Tuhan ini!

MAT KONTAN
Kalau saja ahli nujum itu belum mati (heran ia melihat soleman yang pergi begitu saja ke rumahnya). He, dengar! Kalau saja saya tahu, saya akan hajar dia! (melihat pada paijah dan mengancam). Kau juga! Malam ini juga harus kau tunjukkan padaku siapa pembunuhnya!

PAIJAH (melihat anaknya yang menangis)
Saya tak mau!

PAIJAH PERGI MASUK RUMAH, MAT KONTAN MENYUSUL. SOLEMAN MASUK DALAM RUMAHNYA BURU-BURU, LALU KELUAR KEMBALI MENYARUNGKAN GOLOKNYA DI BALIK SARUNGNYA, AGAR TAK TAMPAK. SOLEMAN MENDENGAR DI BALIK PINTU RUMAH MAT KONTAN, PERTENGKARAN YANG TERJADI DI DALAM. SOLEMAN JADI HERAN, MELIHAT PAIJAH YANG TIBA-TIBA MELONCAT KELUAR DAN MENDEKAP PADANYA

MAT KONTAN (mengancam)
Lepaskan dekapan itu!

PAIJAH (terus mendekap).
Man, tolong lindungi saya Man!

MAT KONTAN
Ayo lepaskan sebelum kuambil golok!

PAIJAH (melihat soleman yang diam saja, jadi geram)
Man, kau diam saja!

SOLEMAN HANYA MENANTANG MATA MAT KONTAN DENGAN DADA YANG SESAK

MAT KONTAN
Kau juga harus melepaskan dia! He, Soleman (jadi geram melihat Soleman) Lepaskan dia! Dia bukan binimu!

PAIJAH (mengguncang Soleman)
Jawab. Jawab Man!

KETIKA SOLEMAN DIAM SAJA, PAIJAH MELUDAHI MUKA LELAKI ITU. LALU IA MELEPASKAN DEKAPANNYA DENGAN SANGAT BENCI DAN DIA BERLARI KE BANGKU RUMAH SOLEMAN

MAT KONTAN (pada Paijah)
Paijah! Jangan kau lari kesana. Jangan kau lari kesana! Jangan kau berteduh di bawah atap rumah lelaki yang bukan lakimu.

PAIJAH (bergayut pada sandaran bangku)
Leman pengecut! Jawablah si Kontan itu Man!

SOLEMAN TETAP BUNGKAM, MAT KONTAN MENDEKATINYA BIARPUN HATINYA TAKUT SEKALI

MAT KONTAN
Jadi kau tahu ya, siap yang membunuh beo saya ha?

soleman (memandang ke wajh paijah)

PAIJAH
Jawablah Man, sebelum kau dicincangnya!

SOLEMAN (MEMANDANG MAT KONTAN SEHINGGA MAT KONTAN MUNDUR. KETIGANYA SALING PANDANG DENGAN LIAR. KETIGANYA SALING BENCI.

MAT KONTAN(akan masuk kerumah dan mengancam keduanya)
Kalau begitu akan saya ambil golok. Akan saya bunuh kalian keduanya bila tak ada yang mengaku!

PAIJAH
Mat Kontan lakiku (setelah dilihat mat kontan, ia memandang soleman mengejek) Saya bunuh burungmu itu.

MAT KONTAN (melangkah)
Kenapa burung saya kau bunuh?

PAIJAH
Karena ia selalu mengejek saya!

MAT KONTAN (heran berjalan mendekati)
Dia mengejek kau? Ha?

PAIJAH
Dia mengejek saya dengan perkataan itu, jangan cubit saya! Jangan cubit saya! (sambil melihat soleman).

mat kontan (makin mendekati paijah).

PAIJAH
Hancurkan diri saya! Coba! (lalu menangkup bangku).

IX

SOLEMAN HANYA MEMANDANGI SAJA, SEDIKITPUN IA TAK MELANGKAH. PAIJAH BANGKIT DAN MEMANDANGNYA GARANG

PAIJAH
Hai lelaki pengecut! Bukankah kau bilang, berjanji akan melindungi saya ha? Kau diam saja sekarang kayak tunggul!

MAT KONTAN HERAN MEMANDANG SOLEMAN

SOLEMAN (baru kemudian berjalan selangkah)
Saya hanya kepingin melihat melihat kau takut. Juga kepingin melihat Mat Kontan takut. Dan juga kepingin merasakan kalau saya takut, seperti yang bapak saya alami!

PAIJAH
Kau takut ya?

SOLEMAN
Saya kepingin melihat Mat Kontan menyentuhmu seujung kumis nyamuk. Melukaimu barang seiris bawang. Tapi rupanya ia tak berani.

PAIJAH
Jangan kau bikin gara-gara memanasi dia, Soleman keparat. Akuilah dulu perbuatan kau!

MAT KONTAN (pada paijah)
Jadi Soleman tahu siapa yang bunuh burungku?

PAIJAH
Ya, ia yang tahu!

MAT KONTAN
Tapi kenapa kau yang mengaku ha? (giginya gemeretak).

PAIJAH
Karena saya kasihan melihat dia begitu pengecut tadi.

MENDENGAR INI SOLEMAN JADI GERAM, LALU BERTERIAK

SOLEMAN
Sayalah yang membunuh burung beo itu!

(berjalan lambat mendekati Mat Kontan. Mat Kontan (memandangi agak takut)

Sayalah yang melakukannya!

MAT KONTAN (berputar mengambil tempat dekat rumahnya)
Jadi kenapa kau bunuh dia? Kau iri pada saya ya?

SOLEMAN
Ya, saya iri!

MAT KONTAN
Memang benar tebakan saya tadi.

SOLEMAN
Ya! Saya iri pada semua yang kau punyai. Pada uangmu, pada binimu, pada anakmu, pada burungmu. Dan pada kesombongan kamu!

MAT KONTAN
Memang kau jahanam!

SOLEMAN
Memang saya jahanam. Tapi kau juga jahanam (dan membalikan badan kearah paijah) Kau juga jahanam. Dan burung itu juga jahanam! (lambat) dan anak yang menangis itu juga jahanam.

MAT KONTAN
Kenapa kau hina anak saya ha?

SOLEMAN
Ia bukan anakmu!

MAT KONTAN
Apa katamu?

PAIJAH
Soleman!

SOLEMAN
Sekarang kau jangan banyak omong. Jah, malam ini malam yang menentukan kita semuanya. Ya, si Kontan kecil itu memang bukan anakmu, Mat!

MAT KONTAN
Anak siapa coba?

SOLEMAN BERJALAN LAMBAT MENUJU KETEMPAT KELAM, SUARANYA SEPAROH MENGAMBANG

SOLEMAN
Saya percaya, kau sendiri belum yakin selama ini bahwa ia itu anakmu. Kau sering menebarkan berita setelah anakmu lahir kemana saja untuk menutupi hal itu. Hal, bahwa sebenarnya kau bukan lelaki. (membalik badan dengan cepat). Dan itu menyakitkan hati saya, sebab kesombongan yang satu ini bukan kau punya dengan syah. Dan saya juga tidak bisa mempunyainya dengan syah. Sebab surat nikah ada di tangan kau, Kontan.

(Soleman lalu duduk di bangku mat kontan)

Bangku ini juga jahanam! Karena Paijah sering duduk di sini terkadang sampai malam. Dan saya duduk di sana (menunjuk bangkunya) Kami saling memandang ( kepada kontan). Kenapa kau sering tak di rumah, Tan? Itu juga perbuatan yang jahanam.

MAT KONTAN
Sekarang jawab saja dengan pendek, jangan bikin saya botak. Anak itu anak siapa?

SOLEMAN BERDIRI

PAIJAH (setengah menangis)
Jangan kau bilang Man!

SOLEMAN (berjalan mendekati kontan dengan pandangan yang mencekam pada paijah)
Akan saya jawab. Kau rela? (pendek lambat) Anak itu anak saya dari darah daging saya!

MAT KONTAN
Biadab kalian!

IA BERLARI KE PINTU RUMAHNYA, TAPI TERHENTI MENDENGAR ANAK MENANGIS

PAIJAH
Anakku mau dibacoknya! (melompat, tapi tertelungkup)

SOLEMAN (membiarkan semua ini berlalu)
Kau berteriak minta tolong, di pantai pasir Boblos. Kau ingat itu, Tan? (suaranya lembut) Kau minta satu ujung napas agar kau hidup panjang.

MAT KONTAN MENDENGAR HAL INI JADI KUYU, MUKANYA BERPELUH. SEPERTI TERSENTAK DARI MIMPI, IA LEMPAR GOLOKNYA DAN MELOMPAT MEMELUK SOLEMAN

MAT KONTAN
Man! Sudah kubilang, jangan ceritakan hal itu. Saya kepingin panjang umur.

PAIJAH (BANGKIT DARI PINGSANYA, TERHUYUNG MENUJU BANGKU)

SOLEMAN
Tak jadi kau bunuh saya?

MAT KONTAN
Tidak tahu. O, Man! Kalau tidak tentu saya sudah mati sekarang ini dalam tanah. Saya kelelep di pasir dan tak dapat melihat dunia merdeka ini.

SOLEMAN
Tapi saya tak rela selesai seperti ini.

MAT KONTAN (berkata sesuatu tak jelas)

Ia menuju ke pintu, lalu di pintu ia terhenti. Suaranya mengambang untuk soleman dan paijah. Mat Kontan mengambil golok, menyarungkannya).

Kalian tak usah saya bunuh. Karena banyak lagi perempuan di dunia ini (setengah menangis) Leman! Ambillah paijah biniku itu karena kau telah merampasnya. (kepada paijah) Paijah! Ambillah soleman karena sahabat saya itu telah merampasmu!

(Mat Kontan akan masuk ke rumah, tapi tak jadi)

Tak usahlah, tak usahlah pamit pada si kecil. Karena dia bukan darah daging, bukan anak saya. (berteriak sedih). Ambillah oleh kalian! Telah kalian rampas seluruh kepunyaan saya!

XI

SEPERTI ANAK KECIL MAT KONTA MENGHAPUS AIR MATANYA DENGAN SARUNGNYA. INGUSNYA KELUAR DAN IA MEMBERSIHKAN INGUS ITU DENGAN BERKATA SESUATU YANG TAK JELAS. JALANNYA BONGKOK, BERHENTI IA DI TEMPAT KELAM.

MAT KONTAN
Saya akan pulang ke kampung kelahiran saya. Malam ini juga.

HILANGLAH MAT KONTAN, UTAI YANG MUNCUL DISUDUT RUMAH MAT KONTAN HANYA TERDUDUK MEMPERMAINKAN PASIR. IA TAK DILIHAT OLEH PAIJAH MAUPUN SOLEMAN. SOLEMAN MEMBANTING GOLOKNYA

PAIJAH
Man.

(Soleman tak menjawab dan duduk di bangku rumahnya)

Man..............

SOLEMAN (seperti menyesal, tapi tiba-tiba tersentak sehingga paijah kaget).
Barangkali ia bunuh diri, Jah! Saya akan susul..............

PAIJAH
Jangan tinggalkan saya! (memeluk soleman) Jangan tinggalkan saya Man!

utai tiba-tiba berdiri dan tertawa pendek. kedua mereka terkejut sehingga dekapan itu lepas. utai segera lari ke arah mat kontan pergi

PAIJAH (menahan soleman)
Jangan Man!

SOLEMAN
Ia sahabat saya, Jah. Saya tak mau biarkan dia mati begituan. Saya pulangkan dia pada kau, karena kau bukan hak saya yang syah!

PAIJAH
Leman! Jangan kau tinggalkan saya dan anak kita!

SOLEMAN (mendengar suara tangis bayi).
Jah.......

PAIJAH
Anak itu sebaiknya kita bawa ke dukun.

SOLEMAN
Bawa ke Pak Mangun.


MEREKA MASUK KEDALAM PINTU RUMAH PAIJAH, BAYI ITU MASIH MENANGIS

XII

SOLEMAN MUNCUL KEMBALI DAN KELUAR, TERDENGAN SUARA TAWA DARI KEGELAPAN. MAT KONTAN DENGAN GOLOKNYA BERSAMA UTAI. KETIKA MAKIN DEKAT SOLEMAN MELIHATNYA DENGAN GELISAH DAN GUGUP MEMANDANG GOLOK YANG TADI DIBANTINGNYA KE TANAH

MAT KONTAN (tertawa)
Ha! Kau kira saya mau begitu saja meniyerahkan bini saya buat kamu? Hei, ajudan kecil bagaimana?

UTAI
Terus! Pukul saja!

MAT KONTAN
Kau kira siapa saya? Kau kira bisa ke Jawa begini malam? Kau kira kapan saya pulang ibu bapak saya tidak akan membawa anak bini? Kau kira saya juga tak kepingin senang dengan keluarga?

UTAI
Terus! Bacok saja!

MAT KONTAN
Nanti dulu Tai! Biar kita lihat dia ketakutan.

UTAI
Jangan biarkan dia lari.

MAT KONTAN
Hadang sana (kepada soleman) saya ke pantai spesial mengasah golok Cibatu ini buat diasah di kepalamu yang penuh najis itu! Dan saya melaporkan bahwa kau berpelukan dengan Paijah, huh!

SOLEMAN MELIHAT UTAI MENGAMBIL GOLOK YANG DI TANAH. PAIJAH MUNCUL DI PINTU TAPI MASUK KEMBALI. SEMUA MENDENGAR SUARA KERETA APAI MENDERU MAKIN MENDEKAT. SOLEMAN MENCARI KELUAR. TIBA-TIBA IA SUDAH MELOMPAT SAJA KESAMPING UATAI DAN MENGHILANG. UTAI MEMBURU DISUSUL OLE MAT KONTAN, KETIGANYA TELAH TERTELAN GELAM MALAM.

XIII

PAIJAH YANG MUNCUL DIPINTU MENAHANTANGISNYA. KEPALA ANAKNYA TERUS DIUSAPNYA BIARPUN SI ANAK TERUS MENANGIS. SUARA UBRUK DI KEJAUHAN MAKIN KERAS, TAPI KEMUDIAN SEPI KETIKA TAWA MAT KONTA SEMAKIN MENDEKAT. PAIJAH MENCOBA MENABAHKAN KETAKUTANNYA

MAT KONTAN (nafasnya masih terengah)
Jah!

PAIJAH (heran)
Tan! Jangan bunuh kami, Tan!

MAT KONTAN (menggeleng)
Bodoh saya kalau membunuh kau dan anak ini (didekapnya bininya) Jah! (ia menangis) Kau tahu Jah? Kau tahu si Utai patah lehernya?

PAIJAH
Ha?

MAT KONTAN
Ia ditendang soleman jahanam itu ketika Utai menangkapnya. Tapi Soleman selamat sampai ke gerbong kereta api. Jahanam itu selamat. Saya sempat memukul kepalanya dua kali, Jah. Ia selamat, Ia lolos, Jah. Tapi pikirannya akan selalu diburu!

(bayi menangis)

Bawa ke dalam nanti masuk angin lagi!

(Paijah heran memandangi mat kontan)

Kenapa kau lihat saya seperti itu? Apa saya ini macan?

PAIJAH
Si Utai, Tan.

MAT KONTAN
Apa boleh buat dia mati. Kalau hidup tentu ia akan menyebarkan berita kerusuhan kita ini. Kita mesti rahasiakan ini, Jah!

XIV

DARI JAUH KALENG SUSU TUKANG PIJAT JELAS MENDEKAT. IA MUNCUL KETIKA PAIJAH MEMBAWA BAYINYA MASUK


MAT KONTAN
Jangan bikin ribut! Anak saya makin sakit!

TUKANG PIJAT
Tan! Kau dicari-cari orang, Tan. Si Utai mati kau tahu?

MAT KONTAN
Ssssst! Jangan berisik. Saya mau pergi mencari dukun.

TUKANG PIJAT
Kabarnya Soleman berkelahi dengan kamu tadi ya? Soal apa?

MAT KONTAN (makin jauh akan pergi)
Dia mencuri burung saya dan uang saya. Ssssst. Jangan berisik...........(menghilang)

TUKANG PIJAT
Punya anak satu kayak selusin saja. Kontaaaaaan, Kontaaaan

IA TERCENUNG MELIHAT MAT KONTAN MAKIN JAUH

XV

TANGIS BAYI YANG MAKIN MENINGGI MENYEBABKAN TUKANG PIJAT ITU MENDEKAT. TAPI KEMUDIAN TANGIS ITU TERHENTI DI DALAM PUNCAKNYA. TERDENGAR RAUNG PEREMPUAN DI DALAM. KEMUDIAN PINTU TERHEMPAS KELUARLAH PAIJAH DALAM RAMBUT KUSUT MASAI. HAMPIR MENABRAK TUKANG PIJAT. TANGIS PAIJAH TERDEKAM KE DADANYA. BERHENTI IA MENANGIS DARI TEMPAT KELAM ITU. LAMBAT IA BERJALAN MENUJU TUKANG PIJAT, SETENGAH BERTERIAK.

PAIJAH
.......Pak! Anakku mati Pak!

SITUA BELUM SEMPAT BERTANYA, PEREMPUAN ITU MELARIKAN DIRI KE ARAH MAT KONTAN TELAH MENGHILANG.


SELESAI


TELUKBETUNG. 1-VI-1958

Read more »»